Kamis, Desember 31, 2015

Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya



Dua hari, satu malam saya 'dipaksa' :) ikut pelatihan HPAI, SBP Intensif Road to LED. Acaranya top banget. Alhamdulillah dapat banyak sekali ilmu, yang saya rekam dengan tulisan tangan. Catatan saya itu untuk oleh-oleh buat anak-anak saya, semuanya ada 29 halaman. Saya tunjukkan ke mereka, tentu saja disertai banyak harapan.

Saya belajar dari teman-teman saya waktu muda, sebut saja Mining, Uswah, Opi (Farida). Mereka adalah orang-orang yang rajin mencatat. Catatan mereka rapi dan detail, seolah-olah orang yang membacanya ikut mendengarkan sendiri ceramah atau kuliahnya. Saya ingat betul kata Mining dulu, "Kalau catatan kita lengkap itu enak, nanti kita menyampaikan ke orang lain tinggal niruin aja (doeloe belum ada istilah copas hehe)". Maka dia pun mencatat, hingga banyolan-banyolannya.:)

Saya pun setuju sekali dengan kata-kata orang bijak, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya (mencatatnya)". Memori kita terbatas. Sehari, dua hari, sebulan, mungkin kita masih ingat kata-kata orang lain, meski tanpa mencatat. Tapi bayangkan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun kemudian. Tanpa mencatat, sepertinya tidak ada yang bisa kita kenang, tidak ada yang bisa kita ingat. 

Mari menulis, mari mencatat...

***

Buat manteman, saya .mohon izin untuk berbagi oleh-olehnya juga. Saya pengin berbagi secara tematik, bukan per pembicara. Ga semuanya kok, sebagian saja Biar ga capek dan bisa sambil mengerjakan yang lain, nulisnya dikit-dikit aja. Semoga gak bikin boring apalagi bikin sebel. :)


*Postingan FB 21 Desember 2015

Oh Sepi



Dua hari tidak ada Nabilah, rumah bener- bener berasa sepi. Sepi, meskipun juga hari Ahad kemarin, saya beraktifitas di luar rumah sepanjang hari tiada henti.

Sepi, seperti saya sedang berada di rumah sakit. Iya karena saya tak pernah berpisah dengannya kecuali untuk urusan rumah sakit dan kegiatan sekolah yang mengharuskannya menginap. Untuk urusan rumah sakit, total waktunya 10 hari, waktu saya melahirkan Farras, waktu ibu saya sakit dan ketika saya sendiri sakit. Pun kegiatan sekolah, selama ini biasanya Nabilah hanya menginap semalam.

Anak-anak memang penyemangat hidup kita. Terlebih saya. Tanpa mereka hidup terasa sepi. Iya, ini mungkin juga sebagai sarana pengingat diri dan latihan bagi saya. Ketika dewasa nanti, anak-anak juga akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga masing-masing. Pun di alam kubur nanti, kita pun akan sendiri. Hanya sendiri, ditemani amalan-amalan shalih, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak-anak shalih kita.

Tak mengapa sepi. Bagi Ummi, yang penting kalian berbahagia anak-anakku. Bahagia di dunia hingga akhirat nanti.

*Postingan FB 14 Desember 2015




Pagi ini nganter Nabilah yang mau ke Pare, agenda dari English Station for Kids Baitul Maal. Rencana awal sih mau ke Bromo juga, biar mereka bisa bercasciscus sama bule. Berhubung kondisi Bromo yg tidak kondusif, sepertinya agenda akan dialihkan. Nggih, terserah bapak ibu gurunya saja.

Setiap orang tua terlebih seorang emak, biasanya sangat mencintai anak-anaknya, lebih dari dirinya sendiri. Memikirkan anak-anaknya, dengan sangat. Maka saya titipkan pada -Mu, anak-anak kami Ya Allah. Saya yakin bersama penjagaan Allah dan pengawasan dari pihak sekolah, mereka aman.

Biar fisiknya selalu fit, imunitasnya bagus, saya bekali juga anak saya madu. Madu Sapu Jagad, yang kandungannya antara lain madu dan spirulina. Semoga selalu sehat jasmani rohanimu anakku sayang...

Selamat jalan, fii amanillah
 
 *Postingan FB 12 Desember 2015

 




Inilah Keinginan-keinginan Saya

Sekali-kali nulis secara lugas sesuatu yang sangat privacy juga ga ada salahnya ya... Soalnya ada asal muasalnya juga nih.

Ceritanya, beberapa hari lalu seorang ibu muda berusia 26 tahun datang ke rumah membeli sprei. Beliau seorang wanita yang cantik dan kalem. Sebut saja namanya Putri (bukan nama sebenarnya). Kami sudah lama saling mengenal, tapi memang jarang berinteraksi secara dekat. Di tengah obrolan, terselip cerita beliau tentang suaminya. Lalu saya bertanya, "Teman suaminya ada yang belum nikah gak Put? Daftar ya..." Dengan datar dan kalem Putri bilang, "Buat Bu Nur ya...?" Hehe, tentu saja saya benar-benar tidak menyangka akan jawabannya. Kaget banget.

Tidak menyangka, karena Putri ini juga tahu kalau saya punya beberapa teman dekat seusianya yang belum menikah. Jika mereka menemukan jodoh terbaiknya, sepertinya saya menjadi orang yang paling berbahagia. Lagipula usia suami Putri juga baru 26 tahun. Teman-temannya juga otomatis kurang lebih seusia itu.

Nah, ini cerita lainnya lagi. Beberapa bulan lalu, saya ngobrol panjang lebar dengan seorang mantan guru ngaji (MR) kami tempo doeloe via telepon. Beliau bercerita kalau dulu salah seorang mantan teman ngaji saya pernah mencari-carikan jodoh buat saya setelah suami saya meninggal. Mendengarnya saya kaget sekali, sambil tertawa- tawa. Tetapi meski tanpa seizin dan sepengetahuan saya, tentu saja saya tidak bisa marah karena sesungguhnya maksud teman saya ini baik. Malahan geli. Hmmm...hingga saat ini saya juga tidak tahu, 'kemana saja' teman saya itu mencarikan.:)

Usia saya sebentar lagi genap 44 tahun, sudah cukup tua. Allah Mahatahu keinginan- keinginan saya di sisa- sisa waktu hidup ini. Sejujurnya saja, hingga saat ini dan sampai waktu yang saya sendiri tidak tahu, tak ada keinginan saya untuk menikah. Oleh karena itu, sama sekali tidak pernah juga minta dicarikan. Jika pun suatu saat ada 'lowongan' mending buat yang lain saja yang belum pernah menikah. Saya sudah cukup berbahagia dengan kenangan-kenangan bersama almarhum suami dan berbahagia pula sudah memiliki Nabilah dan Farras. Harapan terbesar kami, kelak bisa berkumpul kembali di surga-Nya.

Bagi saya biarlah sisa hidup saya ini, saya gunakan untuk mendidik anak-anak menjadi orang yang berkualitas, sholih, muslih dan penuh ridho Allah. Semua seiring sejalan dengan aktifitas bekerja mencari nafkah dan berkarya di jalan Allah. Bagi saya, hal itulah yang menjadi bagian terpenting dalam hidup kami saat ini.

Memang setelah suami meninggal, kondisi keluarga kami berbeda. Bisa diibaratkan, sekarang kami terbang dengan satu sayap. Alhamdulillah, semua berjalan relatif baik, meski banyak rencana dan keinginan kami waktu itu yang belum terealisasi hingga kini. Rumah pun tak ada yang berubah dari sejak awal kami menempati.

Untuk itu, saya sangat ingin menjadi orang yang sukses secara ekonomi. Ingin bisa lebih banyak berbagi dan menolong orang-orang yang kesusahan dan memenuhi harapan keluarga. Saat ini kondisi ekonomi keluarga kami hanya sekedar pas-pasan untuk ukuran kehidupan di sekitar Jakarta yang memang mahal. Penuh keterbatasan dan tak bisa banyak bergerak untuk memanjakan sifat royal. Padahal sesungguhnya ada berjuta keinginan menjadi seperti keluarga A,B, atau C yang bisa sangat dermawan dan memberi andil yang besar dalam keuangan ummat.

Di balik banyaknya keinginan, alhamdulillah hati ini bisa berdamai dengan keadaan. Setelah berupaya memaksimalkan doa dan ikhtiar, saya meyakini bahwa Allah Mahatahu yang terbaik untuk dunia akhirat kami. Dengan begitu, saya pun lapang dalam menerima apapun hasilnya. Harus selalu bersabar, bersyukur, dan selalu berpikir positif terhadap semua keputusan Allah. Iya, memang sembilan dari sepuluh sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga ternyata adalah orang kaya. Tetapi menjadi apapun kita, semoga tetap bisa menjadi bagian orang-orang yang diridhoi Allah, dan mendapatkan jannah-Nya kelak.

*Postingan FB 6 November 2015

Sempatkanlah Sebelum Giliran Kita



Habis pulang ta'ziah ke dua tempat. Dua-duanya saya tidak kenal. Satu ayah anak kelas 3 SD BM, tapi beda kelas dengan anak saya. Beliau meninggal karena kecelakaan kereta. Satu lagi, karena kebetulan melewati depan rumah beliau pas ta'ziah ke ortu teman anak saya tadi. Sekalian saja mampir.

Sebelum berangkat, saya ngajakin anak saya biar mau ikut ta'ziah. Anak saya tidak bersedia, karena merasa masih kecil, lagi pula tidak mengenalnya. Lalu saya katakan pada mereka bahwa suatu hari nanti kita akan mendapat giliran untuk dipanggil-Nya, meninggal dunia. Kita perlu kehadiran orang lain untuk mengurusi kita. Lagipula keluarga kita akan sedikit berkurang kesedihannya , bila banyak orang datang. Orang-orang yang datang itu secara tidak langsung turut menguatkan dan menghibur.

Wong nandur bakale ngunduh. Ngunduhnya (memanennya) bisa di dunia, bisa di akhirat, bisa juga di keduanya : dunia dan akhirat. Maka akan lebih baik, kita menyempatkan diri untuk menanam apapun, termasuk ta'ziah. Iya menyempat-nyempatkan, karena kalau tidak menyempatkan, kita tidak akan pernah sempat. Lebih banyak kewajiban dan urusan kita daripada waktu yang kita miliki.

Saya katakan pada anak- anak bahwa tidak ada amalan kita yang sia-sia, asal niatnya karena Allah. Pasti ada balasannya, pasti akan mendatangkan ridho dan kasih sayang-Nya. Saya yakin, kata-kata saya akan masuk ke dalam hati mereka, terekam dalam kalbunya. Lalu suatu saat nanti akan berubah menjadi sebuah prinsip yang akan diterapkan dalam hidupnya. Semoga...

Postingan FB 3 Oktober 2015