Rabu, Mei 27, 2009

Terlilit Hutang

Rasa pilu memenuhi ruang hati, ketika mendengar kabar tentang seorang teman yang bermasalah dalam muamalah. Belum pulih kepiluan itu, terdengar lagi berita tentang saudara kita yang lain bermasalah dalam hal muamalah pula. Kasus keduanya sama, menyangkut hutang piutang. Jumlahnya konon tak sedikit, bahkan salah satunya ada yang sampai milyaran rupiah. Saya tak tahu menahu dengan persis sebab musabab akan hal itu. Bisa jadi dikarenakan bisnis mereka mengalami kegagalan. Wallahu’alam.

Saya yakin mereka semua adalah orang-orang baik, sangat baik. Mereka bukanlah orang –orang yang sengaja untuk tidak membayar hutang-hutangnya. Hanya terpeleset.

Mengarungi kehidupan di dunia fana ini ibarat orang berjalan. Medan yang disusuri tak selalu selamanya mulus dan lancar, kadang licin, berliku, penuh tikungan yang tajam ,curam atau macet. Terpeleset, jatuh dan bangun adalah hal yang lumrah dialami. Kala menapakinya perlu kehati-hatian. Berhati-hati dalam segala hal. Berhati-hati mengelola amanah yang diberikan. Memang syetan tak henti-henti membujuk rayu manusia, menggelincirkan, dan menyesatkan. Kadang kita lalai, uang di tangan bukanlah milik pribadi, tetapi terlanjur menggunakannya seperti uang sendiri. Memenejnya secara tidak hati-hati, menggunakannya tidak sesuai dengan rencana, tidak sesuai dengan akadnya.

Hidup di alam fana ini hanya sementara. Bisa jadi kita lari dari tanggungjawab dan kejaran manusia, juga hukuman dunia. Tapi kita tak bisa lari dari tanggungjawab di hadapan Sang Pencipta.

Mengingatnya membuat hati ini bergetar. Dalam tetesan air mata dan untaian doa-doa yang panjang di malam yang sunyi, asapun dipanjatkan. Kepada Sang Pemberi Rezeki Yang Maha Pengasih dan Penyayang, rezeki yang halal , berkah dan mencukupi, senantiasa dimohon agar mengalir untuk hamba-Nya yang dhaif ini. Dari bibir ini jua mengalir doa yang matsur ” Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazzan, wa’audzubika minal ’ajli wal kasal, wa’a’udzubika minal jismi wal bukhl wa’audzubika min ghalabatiddaini wa qahri rijal, aamiin.”
Ya Allah aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan gelisah, aku berlindung pada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir dan aku berlindung pada-Mu dari lilitan hutang dan dominasi manusia.”

Baitii Jannatii, 11 April 2009
Untaian kata-kata itu adalah nasihat buat diri kami -yang juga masih kurang pandai memenej uang :-)

Minggu, Mei 10, 2009

Belajar dari Jogja

oleh Ummu Nabilah

“Alhamdulillah Nduk, Ibu tidak apa-apa, cuma genting-genting rumah kita saja sebagian berjatuhan”, begitu jawab Ibu ketika saya menanyakan kabar beliau.

Pagi itu saya langsung menelepon ke kampung halaman ketika dikagetkan dengan kabar bahwa gempa dengan kekuatan 5,9 skala Richter baru saja terjadi di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya di Jawa Tengah. Tapi berkali-kali saya telepon, tak juga ada yang mengangkat. Di antara perasaan cemas, alhamdulillah saya bisa mendapatkan kabar dari tetangga bahwa warga kampung itu semua selamat. Akhirnya selepas Ashar, saya bisa menghubungi Ibu, setelah menunggu kira-kira 9 jam. Rupanya Ibu tak berani masuk rumah karena khawatir akan terjadi gempa susulan.

Saya sempat mengkhawatirkan keselamatan Ibu yang tinggal sebatang kara di rumah itu. Apalagi tayangan di televisi memberitakan bahwa Kabupaten Klaten adalah salah satu daerah yang mengalami kerusakan parah dan banyak korban jiwa berjatuhan. Belakangan saya mengetahui bahwa di seluruh desa di kecamatan tempat Ibu tinggal -yang letaknya di wilayah utara Kabupaten Klaten dan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali- relatif tidak terjadi kerusakan parah dan tidak terdapat korban jiwa.

Di balik rasa syukur karena mengetahui bahwa keluarga kami selamat, saya merenung. Terbayang oleh saya akan nasib saudara-saudara kita di wilayah yang kondisinya luluh lantak. Mereka banyak kehilangan anggota keluarga, harta benda, tempat tinggal dan harus hidup di tenda-tenda pengungsian yang kondisinya memprihatinkan. Apalagi, pasokan bantuanpun seringkali lambat datang, sehingga mereka harus berjuang menahan sakit, lapar,kepanasan, dan kedinginan. Belum lagi banyak di antara mereka yang mengalami luka-luka berat dan ringan yang lambat mendapat penanganan.

Melihat berbagai peristiwa di muka bumi yang menyayat-nyayat hati, seolah-olah saya kembali diingatkan oleh Sang Mahakuasa akan ketidakberdayaan kita di hadapan-Nya. Sekaya apapun, sepintar apapun, sesehat apapun, dan sekuat apapun, kita tak akan kuasa menandingi-Nya. Sungguh, ketika Allah menghendaki segala sesuatu tinggal berkata, “kun fayakuun” maka terjadilah apa yang dikehendaki Sang Pemilik Jagad Raya.

Kehendak-Nya tak bisa ditunda. Kehendak-Nya bisa membuat manusia tertawa riang atau menangis pilu. Namun yang pasti, kita harus bersikap positip terhadap segala kejadian itu. Rasulullah SAW bersabda,” Aku mengagumi seorang mukmin. bila memperoleh kebaikan ia memuji Allah dan bersyukur. bila ditimba musibah, ia memuji Allah dan bersabar…” (HR Imam Ahmad).

Semua peristiwa ada hikmahnya. Dengannya, Allah mengingatkan manusia agar tak bersikap ujub dan takabur. Dengannya, Allah mengingatkan manusia untuk senantiasa bersiap-siap menanti ajalnya. Dengannya pula, Allah mengingatkan manusia untuk senantiasa menyiapkan bekal yang harus dibawa menghadap-Nya. Wallahu'alam bishawab.

Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Eramuslim, 2 Juni 2006
http://www.eramuslim.com/oase-iman/belajar-dari-jogja.htm

Antara Irak dan Indonesia

KETIKA membaca sebuah berita di situs Eramuslim tentang adzan di Irak yang diakhiri dengan seruan “shalatlah di rumah kalian” hati ini menangis pilu. Terbayang betapa sulitnya saudara-saudara kita di negeri seribu satu malam itu, untuk sekedar memenuhi panggilan shalat di masjid. Untuk memenuhi panggilan Allah itu mereka harus mempertaruhkan keselamatan jiwa. Terlebih lagi di malam hari, waktu antara shalat Isya hingga Subuh adalah rentang waktu rawan yang mengancam banyak kaum Muslimin di sana. Banyak penyerangan dilakukan. Para imam, khatib, dan jamaah masjid menjadi target penculikan dan pembunuhan.

Para ulama di negeri itu sepakat menambahkan kalimat “shalluu fii rihaalikum” di akhir adzan, yang berarti ajakan untuk shalat di rumah. Dengan berdasarkan dalil syariah dalam sunnah nabi, para fuqaha juga sepakat menetapkan menjamak shalat Maghrib dan Isya menjadi satu waktu di waktu Maghrib. Hal ini ditempuh untuk mencegah agar tidak terjadi pertumpahan darah kaum Muslimin.

Bagaimanakah kita di sini? Tak jauh beda. Jamaah shalat Isya dan Subuh juga tak banyak jumlahnya. Bukan lantaran intimidasi, justru lantaran buaian kenikmatan duniawi. Seperti di Jakarta -kota yang tak pernah tidur- saat tiba waktu Isya banyak orang masih di perjalanan atau masih sibuk dengan aktifitas keduniaan lainnya. Boleh jadi sebagian dari mereka ada yang tetap mengerjakan shalat Isya di masjid-masjid di sekitar tempat mereka beraktifitas atau di jalan-jalan yang mereka lewati.

Dibandingkan dengan shalat Isya, kondisi saat shalat Subuh malah lebih parah lagi. Ketika adzan Subuh berkumandang kerap kali tak dihiraukan, acara bertamasya di pulau kapuk yang indah tetap dilanjutkan. Padahal shalat Subuh berjamaah di masjid adalah shalat yang pahalanya sangat besar. Mestinya dengan dijanjikan pahala shalat Subuh yang besar, masjid-masjid menjadi ramai dipenuhi jamaah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, jamaah shalat Subuh di masjid hanya satu atau dua baris saja. Konon, itu terjadi di mana-mana, di hampir semua tempat.

Kalau seandainya reward untuk kehadiran shalat Subuh itu diberikan di dunia, orang akan berbondong-bondong memenuhi masjid. Bayangkan! Jika setiap kehadiran kita pada shalat Subuh mendapatkan uang tunai Rp500.000,00 maka jamaah akan membludak bahkan sampai halaman dan jalan-jalan di sekitar masjid.

Agar tak melihat segala sesuatunya dari kacamata duniawi, maka kita perlu meningkatkan keimanan dan kecintaan kepada Allah dan negeri akhirat. Rasulullah menjelaskan,”…sesungguhnya apabila mereka mengetahui apa yang ada di dalam shalat Subuh dan Isya, maka mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR Ahmad dan An-Nasa’i).

Merangkak? Mungkin bagi kita yang sehat dan memiliki kesempurnaan fisik tak perlu melakukan hal itu. Tapi bagi mereka yang lumpuh dan tidak ada orang ataupun sarana yang bisa membantunya bergerak, maka bisa jadi ketika mereka akan mendatangi suatu tempat harus merangkak.

Membayangkan kondisi saudara-saudara seiman kita di Irak, semestinya kaum Muslimin Indonesia meningkatkan rasa syukur kepada Allah yang diwujudkan dengan menggunakan nikmat-Nya untuk ketaatan. Saat ini, kapanpun kita bisa ke masjid tanpa ada hambatan yang berarti. Hambatan yang ada justru dari dalam diri kita sendiri. Maka sudah saatnya kita menunjukkan sifat mujaahidun lin nafsi. Kita harus berpartisipasi membuat masjid-masjid kita ramai dipenuhi jamaah, termasuk ketika shalat Subuh.

Sebagai kaum wanita, kita harus bisa memotivasi para suami untuk bangun pagi dan shalat Subuh di masjid. Meski tak mengerjakan shalat berjamaah di masjid, kita pun perlu mengerjakan shalat di rumah tepat waktu. Semua itu merupakan bagian dari dakwah, karena sarana dakwah yang paling efektif adalah dengan memberi qudwah (keteladanan). Dakwah tanpa qudwah selain dibenci Allah juga akan menimbulkan perasaan kurang tsiqah dalam diri objek dakwah.

Sebuah kenikmatan seringkali baru terasa ketika ia hilang dari kita. Selama ini mungkin tak terpikirkan oleh kita bahwa kedatangan kita untuk beribadah di rumah Allah dengan aman tanpa gangguan merupakan sebuah kenikmatan yang luar biasa. Mengapa sedikit sekali kita mensyukurinya? Tidak cukupkah kita mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita di belahan bumi sana? Wallahu'alam bishawab.

Catatan : Tulisan ini pernah dimuat di Kolom Muslimah Majalah Saksi Agustus 2006