Selasa, Juni 14, 2016

Istirahatkan Kami dengan Shalat

Masjid Arridho, selepas Subuh. Ibu-ibu saling berjabat tangan seusai acara kultum. Saya pun menjabat dan mencium tangan seorang ibu cantik di sebelah saya. Sebut saja namanya Bu Ayi (bukan nama sebenarnya). Usia beliau sekitar belasan tahun di atas saya.

Kami berbincang sejenak. Bu Ayi bercerita dan menyampaikan keinginan untuk mengirim paket ifthar ke masjid. Setelahnya, saya berbicara tentang hal lain. Dengan berusaha hati-hati, saya menanyakan kabar kesehatan putri beliau. Beberapa tahun lalu, salah satu putri beliau yang saat itu belum lama menikah, sakit. Saya kurang tahu tentang sakitnya, yang saya ingat seluruh badannya tiba-tiba lumpuh. Sebuah ujian yang tak ringan, terlebih bagi hati seorang ibu. 

"Alhamdulillah sudah jauh lebih baik. Sudah bisa mandi sendiri, makan sendiri. Ujian Bu, sabar dan syukur saja," kata beliau sambil tersenyum. Sebuah senyuman manis yang memancarkan keikhlasan.

Saya membatin. Kata-kata beliau pas sekali dengan isi kultum Subuh yang baru saja disampaikan. Orang-orang menganggap shalat, shaum, zakat, dan hal lainnya, itu bisa dengan sisi hati yang berbeda. Ada yang melihatnya sebagai sebuah kenikmatan, pun ada yang menganggapnya sebagai beban. Semua tergantung keimanan, tergantung akidah. Akidah itu ibarat pondasi sebuah bangunan. Jika pondasinya kuat, bangunan pun akan kokoh. Tak mudah roboh, bahkan ketika ada gempa dahsyat sekalipun. Bagi seorang mukmin, apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik. Pun shalat adalah sebuah istirahat yang sangat nyaman, penuh ketenangan, ketentraman, dan kenikmatan. Rasulullah bersabda, "Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat."

*Catatan hari ke-4 Ramadhan 1437
Postingan FB 9 Juni 2016

Yuk Rukun

Belum lama ini seorang teman memberi info mengenai pendapat seorang tokoh terkenal, tentang paham dan gerakan yang membahayakan Pancasila dan bangsa Indonesia. Teman saya ini seorang yang hanif. Mungkin maksud beliau menginfokan itu, ingin minta pendapat saya (yang menurut beliau, saya orang PKS).

Saya sebenarnya lebih tertarik memikirkan issu-issu dan peristiwa- peristiwa mengenaskan yang terjadi di negara ini. Tapi tidak apalah, saya ikut berkomentar atas pendapat tersebut. 

Saya rasa akan sangat bagus jika seluruh kelompok muslim sunni itu menyatukan pandangan bersama, mengesampingkan perbedaan, lalu membuat langkah bersama untuk memajukan rakyat dan negara ini. Tidak ada saling menjelekkan, yang dampaknya justru kontra produktif terhadap kebaikan umat Islam. Selama ini meski mayoritas, penduduk pribumi dan kaum muslim itu terpinggirkan dalam banyak hal. Kalau dalam kondisi seperti itu saja tetap tidak mau akur, kapan nasib kaum terpinggirkan itu akan berubah menjadi lebih baik?

Saya sepakat Pancasila dan UUD 1945, sebagai dasar dan landasan negara. Meski begitu, saya sangat tidak setuju jika membuatnya seolah-olah sesuatu yang keramat. Apalagi jika hal itu dipakai untuk melabeli orang- orang yang berbeda dalam kebijakan dan langkah perjuangan. Jika orang yang berbeda kebijakan tersebut berada dalam kebenaran, mencintai rakyat dan negara ini dengan tulus, tidak melanggar Undang-undang, dan mengikuti aturan bersama, adakah yang salah? Menurut saya, seharusnya orang yang dicap membahayakan Pancasila dan bangsa Indonesia adalah para 'penjual negara', orang-orang yang menzalimi rakyat, koruptor, pembunuh, pemerkosa, dan pelaku tindak biadab lainnya.

*Dibuang sayang, maka jawabannya saya posting di FB juga deh...
Postingan FB 19 Mei 2016