Rabu, Januari 07, 2015

Beruntung


Bagi saya, dalam hidup ini semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru. Berbagai peristiwa dan perlakuan orang lain baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya, sejatinya adalah ilmu dan pelajaran paling berharga dalam hidup ini.

“Ibu masih jauh lebih beruntung daripada saya Bu,” kata seorang ibu penjual gado-gado suatu siang di Pasar Cipadu. Menurut beliau, saya ditinggalkan suami dalam kondisi baik-baik, jelas statusnya. Sedih wajar, tetapi secara perasaan lebih nyaman, tak ada rasa kesal dan gondok. Sementara beliau ditinggalkan suami tanpa status yang jelas. Masih isteri sah, tetapi tidak lagi diberi nafkah lahir batin. Suaminya sudah menikah lagi dengan wanita lain.

Lain lagi dengan ibu yang satu ini. Siang itu, setelah menyelesaikan bacaan Iqronya, seorang ibu majelis taklim pun curhat. Beliau mengaku, kadang ada keinginan untuk bunuh diri kalau mengingat semua peristiwa yang dialaminya. Suaminya meninggal karena kecelakaan motor dalam kondisi mabuk. Untuk membiayai diri dan anak semata wayangnya, beliau hanya bekerja sebagai tukang cuci setrika. Sekarang hanya berjualan lontong dan pastel di pagi hari, karena fisiknya tak lagi sehat.

Mendengar kisah cerita ibu-ibu tadi, saya memang makin bersyukur. Meski begitu, tak berarti saya merasa lebih beruntung dari mereka. Bisa jadi secara pandangan manusia benar, tetapi belum tentu menurut Allah. Bagi saya beruntung atau tidaknya seseorang di mata Allah, lebih ditentukan dari bagaimana cara orang itu menyikapi ujian-ujian dalam hidupnya, kesenangan maupun kesusahan.

Iya, kita memang harus selalu bersyukur. Ada banyak alasan. Tak terhitung banyaknya nikmat Allah untuk kita syukuri. Juga yang lebih penting lagi, dengan bersyukur Allah makin menyayangi kita. Semoga…


*Postingan FB 31 Oktober 2014