Senin, September 10, 2012

Luar Biasa, AKP Membawa Turki Bangkit


Kemenangan luar biasa yang dicapai  Partai  Keadilan dan Pembangunan atau AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) Turki, menginspirasi para kader PKS Pondok Aren untuk  mendiskusikannya. Mereka mengadakan  bedah buku  berjudul Kebangkitan Pos-Islamisme, Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu  pada Ahad, 9 September 2012.  Hadir sebagai pembicara adalah penulis  buku tersebut Ustadz Ahmad Dzakirin,S.Si, M.Sc  dan Ustadz  Ika Fithriyadi, Ak.

Ustadz Ahmadz Dzakirin memaparkan bahwa   AKP bekerja keras memulihkan ekonomi Turki dan ‘berpuasa’  untuk tidak berlebihan menikmati fasilitas negara. Alhasil, mereka menang secara meyakinkan tiga kali berturut-turut: 34% (2002), 46% (2007) dan 50% (2011). AKP mematahkan anggapan sementara orang bahwa partai Islam hanya mampu berjualan  moral.  Mereka   membuktikan  sebagai sebuah partai yang mampu menunjukkan kinerja ekonominya  secara  luar biasa.

Di negara kita,  partai  yang  pernah menjadi partai  besar, umumnya  dengan cepat pula meletus. Tidak demikian halnya dengan AKP.   Partai itu mendapat dukungan luas dan  meraih sukses  selama  lima dasawarsa.   Kemungkinan  ada nilai-nilai besar  atas  kesuksesan  AKP yang bisa ditransformasi di Indonesia.

Pemimpin Turki sekarang ini, Recep Tayyip Erdogan adalah seorang visioner yang memiliki visi dan misi yang kuat.  Beliau adalah seorang jenderal jenius yang mampu mengeksploitasi friction and fog of war (perpecahan dan ketidakpastian dalam perang)  menjadi peluang dan kekuatan.  Pengalaman  politik nyata beliau  telah menempanya menjadi pemimpin yang memiliki talenta tinggi, intuisi yang tajam, dan kecerdasan emosional yang matang.

Kehadiran dan sukses AKP setidaknya membawa dua tesis penting. Pertama, kegenialan terobosan para politikus AKP  yang berlatar belakang islamis dalam memecahkan kebekuan politik. Kedua, AKP menawarkan terobosan yang genial dan di luar kejamakan berpikir (out of box) kalangan Islamis. Secara konseptual AKP memberikan interpretasi cerdas tentang sekulerisme, demokrasi dan inter-relasinya dengan Islam. Mereka membantah pesimisme sebagian kelompok Islam (misalnya HT dan Salafi) dan pengamat barat tentang ketidaksinkronan Islam dan demokrasi.

Tesis baru yang dibawa AKP adalah adanya relasi antara islamis-demokrasi -kemakmuran.  Perkawinan islamis progresif  dan  demokrasi  membawa pada kemakmuran. AKP membuktikan diri dapat menjadi partner andal  dalam mengelola negara tanpa korupsi dan amoralitas. Ketika berkuasa AKP memperkuat demokrasi dan pengelolaaan negara yang akuntabel. Ekonomi Turki maju, pengangguran berkurang dan terbuka akses ekonomi yang lebih luas. Turki di bawah AKP mampu bangkit menjadi negara industri baru.

Pemerintahan islamis –Erbakan   hanya berusia pendek  karena kudeta militer. Hal demikian tidak terjadi pada AKP.   Sesuatu yang  menunjukkan kelebihan AKP atas pendahulunya  Partai Refah.

Awalnya AKP hanya  20 persen menguasai media.  Media-media yang ada di Turki saat itu  dikuasai oleh kaum liberal. Dalam jangka waktu lima tahun, AKP  telah mengakuisisi media di Turki sebesar 70 persen. Beliau mengatakan media yang dimiliki oleh AKP Turki benar-benar dijalankan  oleh profesional. Mereka punya koran, radio, televisi dan media online. 

Pada kesempatan tersebut, seorang peserta  berkomentar bahwa kondisi  ekonomi Indonesia dan Turki sebelum AKP  adalah sama. Di sisi lain medan dakwah di  Turki  sebenarnya lebih berat .  Indonesia adalah negara pancasila, sementara Turki adalah negara sekuler. Menurutnya seharusnya PKS bisa mencontoh AKP.   Meski beliau sempat menanyakan kemungkinan ada something wrong, tetapi beliau berpendapat bahwa PKS saat ini tetaplah partai terbaik di Indonesia.  Menurut pengamatan beliau, AKP di bawah Erdogan melakukan perubahan lebih revolusioner dan mengedepankan hal-hal yang disepakati bersama yaitu perbaikan ekonomi. 

Acara bedah buku tersebut  berlangsung menarik dan  memberikan perspektif intelektual yang mengayakan. Tak kalah menariknya pula adalah sebuah  sentilan dari  MC di awal acara. Dengan gaya  yang santai, sang pembawa acara  berkomentar, “Bagaimanakah kita  akan memimpin orang lain, jika belum mampu memimpin diri sendiri?” Sebuah sentilan yang kiranya bisa menjadi bahan renungan, bahwa hendaknya kita lebih berkomitmen dalam hal waktu.

***