Rabu, Desember 31, 2014

Ketika Kenyataan Tak Sesuai Harapan




Beberapa hari yanğ lalu, saya kedatangan seorang tamu istimewa. Ia seorang wanita muda, cantik, sholihah, dan sudah menikah. Usianya masih jauh dari 25 tahun. Kami belum pernah dalam satu kelompok pengajian, tetapi beberapa kali bertemu dalam pengajian yang skalanya lebih luas dan dihadiri lebih banyak orang.

Sebut saja namanya Ayu. Ayu sebenarnya sudah menjadi seorang ibu, tetapi anaknya dipanggil kembali oleh Allah tak lama setelah lahir. Meski begitu Ayu tampak tegar, seolah tidak ada masalah apa-apa. Ia malah bilang bahwa setelah membaca artikel2 di internet seputar anak dan kehamilan, ternyata banyak orang yang memiliki masalah jauh lebih berat dari mereka. 

Sejujurnya saya kagum padanya. Menurut saya, di usianya yang masih muda, ujian itu bukanlah sesuatu yang ringan. Beberapa orang seusianya yang pernah mengalami hal yang sama, begitu nampak terpukul atas kehilangan bayinya. Saya memahami. Wanita2 lain yang salah satu anaknya dipanggil Allah, dan masih memiliki anak -anak lain pun, juga tampak sangat sedih. Padahal anak yang dipanggil Allah itu pun sudah merupakan anak yang kesekian. Pun ada yang kehadirannya lebih karena kasih sayang dan karunia Allah, bukan yang diharap2kan dan direncanakan. Tentu atas kehilangan anak2 yang kelahirannya sangat ditunggu-tunggu, merupakan sebuah ujian yang sangat membutuhkan ketabahan.

Dalam hidup ini, tak selamanya harapan bersesuaian dengan kenyataan. Semua itu adalah ujian. Semua orang mengalaminya dalam bentuk yang berbeda-beda. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk menghadapinya dengan sebaik-baik penyikapan. Pun untuk Ayu, semoga Allah memberikan pengganti yang lebih baik lagi, meridhoinya, dan memberikan pahala dan kasih sayang yang berlimpah ruah atas kesabarannya.

*Postingan FB 10 September 2014

Pandai Menempatkan Diri

Di manapun kita tinggal, alangkah baiknya kalau pandai2 menempatkan diri. Meski orang yang rumahnya kita tinggali, amat sangat jauh sekali dari kesan cerewet, kita sendirilah yang harus sensitif dalam hal kebaikan. Membantu pekerjaan rumahnya misalnya.

Termasuk juga ketika pulang kampung ke rumah orang tua, orang tua pasangan atau mertua. Membantu pekerjaan2 rumahnya seperti nyapu, ngepel, cuci piring, beres2 dsb bukan saja demi sebuah kepantasan atau sekedar untuk menyenangkan hati mereka. Lebih utama dari itu adalah untuk mencari ridho Allah. Berbakti pada orang tua adalah sebuah kewajiban. Bentuknya tentu saja kita sesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Banyak juga manfaat lainnya dalam hal ini. Secara tidak langsung, kita pun telah mendidik anak2 kita bagaimana seharusnya bersikap. Tanpa banyak kata, kita telah mengajari mereka untuk menjadi orang yang peka dalam kebaikan pada orang tua dan mertuanya kelak.

Maka ada baiknya juga, secara diam2 kita menjadikan amalan membantu orang tua dan mertua ini, sebagai ajang berlomba2 dalam kebaikan. Jadi berlomba2nya dalam sebuah paket lengkap, sebagaimana ibadah2 lain seperti sholat, shaum, tilawah, shodaqoh, dakwah dsb. Terlebih sikap kita yang seperti ini, sebenarnya sudah menjadi bagian dari dakwah juga. Dakwah dengan keteladanan jauh lebih efektif dari sekedar berkata -kata.

*Postingan FB 14 Agustus 2014

Terimakasih Pak Sopir Taksi



Alhamdulillah, kemarin siang sudah sampai di rumah dengan lancar dan selamat. Berburu tiket kereta yang berangkat antara Jumat -Ahad, akhirnya dapat KA ekstra lebaran yang berangkat dari Surabaya, dan sampai stasiun Tawang Semarang menurut jadwal Senin sebelum jam 4 pagi. Kereta Api itu satu-satunya KA yang bisa kami naiki, yang paling cepat berangkat, dan masih menyediakan 3 kursi. Kereta Api dari Solo dan Yogya untuk semua kelas sudah penuh semua. Maklum pesennya mendadak :)

Diantar adik, kami berangkat dari Klaten jam 1 dini hari. Alhamdulillah kondisi jalan lancar, sebelum jam 3 sudah sampai stasiun. Agak lama nunggu, karena ternyata keretanya molor hingga jam 04.35. 

Pas perjalanan pulang, seneng ketemu sopir taksi yang jujur, jadi bayarnya gak mahal, cukup Rp73 ribuan. Januari lalu, kami naik taksi dan harus membayar sampai lebih dua kali lipatnya. Padahal saat itu, kondisi jalan juga kurang lebih sama, lumayan lancar.



Terima kasih Pak sopir taksi, barokallah...
Jika ada orang yang secara suka hati membayar dengan uang lebih, mungkin sesuai dengan jumlah yang telah ia anggarkan, uang itu halal dan insya Allah membawa barokah. Lain halnya dengan para sopir taksi yang dengan sengaja memutar-mutarkan jalan hingga para penumpang harus membayar ekstra dari uang yang seharusnya ia keluarkan, maka uang tambahan yang ia dapatkan statusnya pasti berbeda di hadapan Allah.
Berharap makin banyak orang jujur di negeri tercinta ini, hingga semua membawa barokah. Semoga...

*Postingan FB 12 Agustus 2014

Imamnya Cina :)



Shalat Isya dan tarawih di Masjid Arridho tadi diimamin Pak Rusli. Pak Rusli tinggal di komplek ini juga. Lulusan STAN, sekarang kerja di DJP. Usianya mungkin berkisar 37 tahun. Beliau nama resminya Bruce Lie, keturunan Cina. Beliau masuk Islam sejak SMA. Keluarganya hampir semuanya masih non muslim, termasuk ibunya. Ayahnya sudah meninggal.

Kalau pas Ramadhan, imam shalat tarawih kan sudah dijadwal. Nah, awalnya saya tidak menyangka loh kalau yang jadi imam tadi Pak Rusli. Apalagi ternyata tilawahnya juga lumayan bagus dan lagunya juga enak didengar ala ustadz2. Memang hafalannya tadi ada sedikit lupa-lupa, tapi manusiawilah.

Yang bikin saya gak nyangka itu karena beliau selepas SMA kan kuliah dan kerja di jalur umum kek kita2. Kalau misalnya beliau kuliah di LIPIA atau Al Azhar terus jadi ustadz, mungkin kek gitu akan saya bilang biasa aja. Saya lantas membandingkan dengan kita2 yang sejak lahir sudah muslim. Jujur saya jadi malu sendiri karena tilawahnya masih kalah bagus. Atau kadang saya suka melihat bapak2 yang seringkali ‘rendah hati ‘ dan iren kalau harus jadi imam. Sepertinya di sini yang gudangnya para ustadz/ah, banyak loh yang masih malu2 dan belum pernah sama sekali jadi imam shalat di masjid ini. Hehe semoga kita semua (terlebih saya) bukan hanya malu2, tapi jadi malu beneran dan termotivasi untuk memperbaiki bacaan dan menambah hafalan Al Qur’an. Yuk… 

*Postingan FB 23 Juli 2014

Merasa Diawasi Allah


*Kuliah Subuh di Masjid Arridho, 5 Ramadhan 1435 by Pak Sunarsip

Kita harus selalu menanamkan keyakinan bahwa kita senantiasa diawasi Allah setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, dan bahkan dalam rentang waktu yang lebih pendek lagi. Merasa selalu diawasi Allah (muraqabatullah) merupakan suatu hal yang sangat penting bagi diri pribadi kita di dunia dan di akhirat, juga dalam kehidupan bernegara.

Orang yang selalu merasa diawasi Allah, akan memiliki kehidupan mulia di dunia dan di akhirat. Khalifah Umar saat berkelililing negeri dan menyamar sebagai orang biasa, menemukan seorang penggembala kambing yang jujur dan tidak mau mengambil satupun kambing majikannya. Lalu Khalifah Umar membebaskan si penggembala kambing dari statusnya sebagai budak. Demikian juga dengan gadis penjual susu yang tidak mau mencampur susunya dengan air. Khalifah Umar mengambil gadis desa itu sebagai menantunya. Kemuliaan dunia langsung didapat oleh penggembala kambing dan gadis penjual susu. Kemuliaan bernegara juga diperoleh gadis penjual susu tersebut melalui keturunannya. Sang cucu, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang luar biasa hebat.

Kita bisa membandingkan kehidupan rakyat zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan kehidupan rakyat di negara kita. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, semua rakyat hidup makmur. Padahal mereka belum menemukan potensi kekayaan yang besar, hanya mengandalkan pemasukan negara dari sektor perdagangan, Sementara Indonesia adalah negara besar dan memiliki kekayaan alam yang besar. World Bank memasukkan Indonesia sebagai 10 negara yang memiliki potensi ekonomi terbesar di dunia. Tetapi sangat disayangkan bahwa kekayaan Indonesia ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kesenjangan ekonomi di Indonesia sangat tinggi. Banyak sekali rakyat miskin akibat merajalelanya korupsi di negara kita. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, seharusnya kita malu mendapat predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap manusia untuk menumbuhkan keyakinan akan pengawasan Allah. Dengan demikian kita akan selalu menjaga hati, mata, pendengaran, dan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang tidak disukai Allah. Ibadah kita menjadi optimal. Kita pun akan menjadi pribadi yang lebih baik di dunia dan akhirat. Negara pun diuntungkan, dan semakin berpeluang mengembangkan potensi diri menjadi negara makmur.

#Postingan FB 3 Juli 2014

Kultum Subuh 1 Ramadhan


Manusia tempat salah dan lupa. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak mempunyai dosa. Maka sudah saatnya momentum Ramadhan ini kita gunakan salah satunya untuk memohon ampun kepada Allah. Orang yang gagal melewati Ramadhan adalah orang yang hingga selesai Ramadhan, dosa-dosanya tidak diampuni Allah.

Shaum Ramadhan tahun ini juga lebih berat dibanding Ramadhan- ramadhan  sebelumnya, karena ada 2 momentum besar. Ada Piala Dunia bola dan pilpres 9 Juli 2014. Ajang pilpres di Indonesia sering memunculkan hal-hal yang tidak diinginkan. Berharap kita semua bisa menjaga lisan, terhindar dari ghibah dan namimah.

Demikian juga Piala Dunia yang seringkali waktu tayangnya mendekati jam-jam sahur. Hal ini ujian besar, terutama buat bapak-bapak penggemar bola. Jika tidak menguatkan iman, niscaya ibadah-ibadah Ramadhan akan terkalahkan dengan keinginan menonton bola. Padahal sepertiga malam yang terakhir adalah waktu-waktu mustajab untuk berdoa dan memohon ampun pada Allah. Kita harus menyadari bahwa tidak ada jaminan dari Allah bahwa kita masih akan bertemu Ramadhan tahun depan. Maka alangkah baiknya kita memaksimalkan ibadah Ramadhan kita. Semoga ibadah Ramadhan kita tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Ringkasan Kultum Subuh by Pak Ika Fithriadi, 1 Ramadhan 1435 H di Masjid Arridho

Postingan FB 29 Juni 2014

Empat Belas Tahun Menunggu



Pekan lalu, alhamdulillah sudah bisa menunaikan beberapa hak saudara seiman. Salah satunya silaturahim, nengok bayinya Bu Laili. Bu Laili ini sahabat karib saya. Kami dulu sering saling mengunjungi, sering juga kemana-mana bareng. Maklum, dulu pernah dalam satu amanah dakwah. Sekarang sudah jarang bertemu, tetapi masih sering berinteraksi di dunia maya. Tanpa janjian, ternyata kami berada dalam satu grup ODOJ.

Dua bulan lagi, teman saya yang cantik ini mulai menapaki kepala empat. Putranya yang baru lahir ini adalah anak pertama. Beliau sudah menikah sejak tahun 2000. Beliau bilang pernah hamil pas awal2 pernikahan, tetapi keguguran. Kandungannya lemah. Demikian juga waktu kehamilan kedua, tahun 2009. Alhamdulillah tahun lalu beliau hamil lagi dan mulailah mengurangi banyak aktifitas. Beliau pun ngontrak dekat kantor. Rumahnya di Puri Bintaro untuk sementara dikosongkan. Hanya sekali-kali saja rumah itu ditengok suaminya.

Bu Laili ini seorang yang sabar dan santai dalam menyikapi ujian belum datangnya momongan. Sama sekali tidak menunjukkan sensitif tentang kondisinya. Kadang beliau sendiri yang memulai bicara tentang anak dan meminta kami mendoakan agar segera dikaruniai.

Alhamdulillah, setelah empat belas tahun menunggu, Allah pun mengabulkan doa-doanya. Seorang anak laki-laki telah hadir dalam keluarga mereka. Muhammad Al Fatih namanya. Semoga menjadi anak shalih, muslih, penyejuk mata dan penambah keceriaan keluarga di dunia dan di akhirat.



Postingan FB 19 Mei 2014. Dah lamo buangett, yoo... :)



Jumat, Maret 07, 2014

Inspirator Kebaikan



Saya sering bertemu dengan seseorang  di sebuah masjid.  Lalu melihatnya berdoa  dengan khusyu selepas shalat. Tak jarang disertai tetesan  air mata.  Sebut saja namanya Ani.  Usianya beberapa tahun  lebih muda dari saya.  Saya melihatnya sebagai sosok yang ceria, supel, pintar, cerdas, gesit, dan ulet. Penilaian ini, sama persis dengan komentar seseorang di kantor lamanya.

Karier Ani terbilang bagus  di sebuah instansi pemerintah yang basah.  Ia sudah masuk eselon IV sekitar tujuh tahun yang lalu. Tak lama kemudian, ia mendapat beasiswa S2.  Namun belum lama ini,  Ani memutuskan pindah instansi,  karena alasan keluarga dan  kenyamanan.

Dulu sebelum dekat dan sering ngobrol dengannya, saya pernah membatin. Saya tahu Ani  dan suaminya berpenghasilan besar. Selain penghasilan utama, mereka juga mempunyai bermacam-macam  bisnis dan sukses.  Mulai kuliner, properti, dan lain sebagainya. Kadang ia juga mengadakan  sekaligus mengisi sendiri pelatihan berbayar mahal  di hotel-hotel.  Tapi semua itu tak nampak  dalam keseharian Ani dan keluarganya. Rumahnya  sederhana. Tak juga  terlihat ada mobil di  dalamnya. Kemana-mana mereka lebih sering naik sepeda motor.  Kemana hasil kerja keras mereka selama ini?

Hidup ini memang  sawang sinawang. Rumput tetangga kadang terlihat lebih hijau. Kita tak tahu di balik semua itu, seseorang memiliki ujian besar dalam hidupnya. Ada  suatu  kondisi yang kadang mengharuskan seseorang  bekerja keras. Bahkan ekstra keras hingga ibarat kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Kadang hasilnya pun  tak  seberapa banyak  yang bisa ia  nikmati  di dunia ini.

Allah bisa jadi  mengaruniai seseorang penghasilan yang besar. Dari penghasilan besar itu, kadang kala  tak semuanya menjadi rezeki orang itu sendiri.  Kadang uang yang masuk sebenarnya adalah rezeki orang lain. Hanya sebagai perantara.  Seperti Ani. Penghasilannya memang besar. Tetapi ia harus mengeluarkan dana besar untuk pengobatan ayahnya yang sakit jantung.  Ia pun tak tega dan  turut membantu saudaranya yang mengalami kejatuhan bisnis.  Konon hutang saudaranya itu berjumlah  hingga milyaran rupiah.

Saya banyak  belajar dari  Ani, sosok yang hebat tetapi rendah hati.  Ujian hidupnya ternyata cukup berat, namun  ia menghadapinya dengan santai, tegar, dan  sama sekali tak  menampakkannya.  Memang ujian-ujian berat seringkali  tak dianggap sulit bagi orang-orang yang memaknai hidup secara baik. Orang-orang yang meyakini  pertolongan-Nya dan  senantiasa mendamba  cinta dari langit. Mereka selalu  berpikir, berperilaku,  dan bekerja untuk mengumpulkan pundi-pundi kebaikan dan kasih sayang-Nya.  Meyakini bahwa semua akan ada perhitungannya, akan  ada balasannya. Balasannya  memang  tak selalu di  dunia fana ini,  tapi  pasti  di  suatu negeri yang abadi nanti.

Fatherless



Waktu menjemput Farras yang sedang bermain di rumah temannya, saya ngobrol dengan ibunya. Ibu ini seorang guru, namanya Bu Ratna. Banyak hal yang saya dapatkan dari beliau. Beliau mengatakan bahwa memang berbeda antara anak yang hidup dalam pengasuhan bersama ayah dan tanpa ayah. Tanpa ayah di sini bukan hanya karena ayahnya sudah tiada atau bercerai dengan ibunya. Bisa juga karena ayahnya yang terlalu sibuk. Karena kesibukannya, sang ayah tidak banyak atau bahkan nyaris tak berperan dalam tumbuh kembang anak-anaknya.

Anak-anak saya juga hanya diasuh oleh saya, single parent. Dulu keluarga kami adalah keluarga yang harmonis. Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kehangatan dan kasih sayang kami berdua. Suami saya sangat menyayangi dan berperan besar dalam pengasuhan anak-anak kami. Hampir tiap pagi sebelum berangkat kerja, beliau bermain bersama anak-anak kami. Beliau sangat akrab dan sering bermain bola dengan Farras. Sekarang kondisinya tentu berbeda.

Saya juga pernah mendengar bahwa sekitar 70% penghuni penjara dengan hukuman seumur hidup adalah anak-anak yang tumbuh kembang tanpa ayah. Meski demikian, hal ini tak lantas membuat hati saya kecut atau pesimis. Ayah anak – anak saya, meninggalkan kami karena kehendak-Nya. Maka saya pun teringat pertanyaan dan ucapan Bunda Hajar pada suaminya. Bunda Hajar mengatakan bahwa jika Nabi Ibrahim meninggalkan dirinya dan putra mereka Ismail atas kehendak-Nya, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka. Saya pun sangat meyakini hal ini. Meyakini bahwa jika Allah menghendaki, semua akan ada jalannya. Akan ada pertolongan-Nya dari arah yang tak disangka-sangka. Tugas kita hanya menguatkan doa dan memaksimalkan ikhtiar.

Saya sendiri sejak balita hingga dewasa juga tumbuh dalam pengasuhan orang tua tunggal. Ayah saya meninggal, saat anak-anak masih kecil. Adik bungsu saya kala itu usianya masih belum genap lima bulan. Tentu ada yang berbeda dan berkurang dalam hidup kami secara material maupun nonmaterial. Waktu itu, kami harus hidup sangat sederhana dari sedikit hasil sawah dan uang pensiun. Ibu saya tidak bekerja dan harus menghidupi anak yang jumlahnya berkali lipat dari jumlah anak saya. Alhamdulillah atas pertolongan Allah, kami semua relatif baik- baik saja. Sehat jasmani rohani, cerdas, kuat, rajin belajar, dan tumbuh tinggi. :D

Lalu dalam benak saya, teringat anak-anak. Saat ini mereka kadang menjadi bahan ujian bagi saya. Menuntut saya untuk bisa meninggikan tingkat kesabaran. Saya pun meyakini semua akan berubah. Setidaknya hal ini sudah terlihat pada anak pertama saya. Si Kakak dulu sikapnya juga tak jauh berbeda dengan adiknya, terutama jika mempunyai suatu keinginan. Hanya sedikit berbeda, si kakak adalah anak perempuan dan si adik laki-laki. Konon anak perempuan lebih halus dan lebih cepat matang dibanding anak laki-laki.

Saya meyakini bahwa dengan izin dan pertolongan Allah, kelak mereka akan menjadi anak- anak yang matang dan dewasa. Juga menjadi anak-anak yang luar biasa dan membahagiakan. Maka atas semua prosesnya, saya pun meyakinkan diri untuk bisa menikmatinya dengan bahagia dan penuh kesabaran. Sembari berharap agar kiranya bisa memaksimalkan potensi diri dan mempersembahkan prestasi terbaik kita di hadapan-Nya. 


Tabungan Kebaikan



Kemarin bertemu seorang ibu yang sedang  berjalan kaki masuk ke arah Jalan Pesantren. Beliau berusia sekitar 60 tahun. Saya tawari bareng, alhamdulillah bersedia. Nah pas turun, beliau mengucapkan terimakasih yang berulang-ulang sambil bilang bahwa Allah yang akan membalasnya. Saya justru bilang dalam hati bahwa sayalah yang seharusnya berterimakasih pada beliau. Sayalah yang sebenarnya membutuhkan beliau.

Kalau sedang sendirian, saya memang menawarkan pada  orang yang berjalan kaki untuk bareng saya. Senang dan bahagia sekali kalau ternyata ada yang mau bareng. Tanpa keluar uang dan tenaga, saya berharap kiranya yang kecil- kecil begini bisa menambah ‘tabungan’ saya. Iya, saya menyadari bahwa saya tidak seperti ibu-ibu  yang lain yang mempunyai banyak proyek amal kebaikan. Ibu- ibu lain bisa aktif di banyak kegiatan sosial, banyak majelis taklim, banyak pula shadaqah dan infaknya. Sementara saya memiliki banyak keterbatasan.

Maka saya berharap dari yang kecil-kecil, yang remeh temeh seperti ini, bisa menambah tabungan amal saya. Amalan yang bisa menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari perhitungan kelak. Hingga dengan kasih sayang-Nya, kelak kita bahagia di surga-Nya. Semoga…