Senin, Agustus 08, 2011

Merenungi Kematian

Mata wanita itu berkaca-kaca. Beliau tengah bercerita tentang suaminya yang kemarin meninggal dunia. Suaminya dipanggil menghadap Sang Pemilik Jiwa dalam usia yang masih terbilang muda. Baru saja suaminya menyelesaikan pendidikan S2-nya di negeri sakura. Kabarnya sakit hepatitis. Beliau meninggalkan seorang isteri dan tiga anak yang masih kecil. Sulung mereka kelas 2 SD, teman sekelas anak saya waktu kelas satu. Yang paling kecil berusia tiga tahun.

“Sebenarnya Almarhum sudah merasakan sakit sejak bulan Mei, waktu masih di Jepang. Cuma karena saat itu sibuk menghadapi ujian, beliau menunda berobat dan periksa. Beliau mengira sakit biasa saja, dan akan lekas sembuh,” ujar ibu muda itu tegar. Beliau menambahkan putri pertama mereka begitu sering menangis, merasa amat kehilangan. “ Saat mau dibawa ke pemakaman, si kecil juga bertanya, Abi naik mobil mau dibawa ke rumah sakit lagi ya Mi? Kapan Abi pulang?” tutur wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Trenyuh hati kami mendengarnya. Benar-benar trenyuh.

***

Saya merenung. Kesadaran tentang hakikat kematian hadir di dalam dada ini. Kematian adalah suatu keniscayaan, salah satu episode kehidupan yang sering kita saksikan, atau nantinya akan kita alami. Kita dan orang-orang yang kita cintai, suatu saat pastilah akan kembali pada-Nya. Siap atau tidak siap, rela atau tidak rela, kita akan pergi atau ditinggal pergi meninggalkan dunia ini.

Pedih , perih, dan pilu adalah hal yang memenuhi ruang hati saat orang-orang yang kita cintai pergi meninggalkan alam fana ini. Duka yang kita rasakan amat dalam. Rasa kehilangan pun tak henti-henti menghinggapi. Mata pun sembab karena tangisan yang terus mengalir. Semua perasaan yang wajar terjadi. Rasulullah Saw juga meneteskan air mata ketika Ibrahim, putranya, meninggal.

Saya teringat status FB saya sekitar dua bulan lalu. Status yang saya tulis terutama untuk mengingatkan diri saya sendiri. “Kematian, mesti kita memahaminya sebagai sebuah kepastian, tetapi ditinggalkan orang - orang yang kita cintai tetap saja meninggalkan duka yang teramat dalam. Bagi orang beriman yang menjadikan cinta dan ridha Rabbnya sebagai tujuan, tiada lagi pilihan kecuali ikhlas, sabar, ridha dan selalu mensyukuri setiap takdir kehidupan. Semoga Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu mencintai kita…”

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Sebuah kalimat singkat yang maknanya begitu dalam. Kalimat yang memunculkan kembali kesadaran kita akan hakikat kehidupan ini dan apa-apa yang kita miliki. Kalimat yang akan mampu menguatkan jiwa kita.

Meski umumnya wanita memiliki perasaan halus, tetapi memiliki ketegaran jiwa adalah sebuah keharusan. Pun meyakini bahwa setiap ujian adalah kesempatan yang Allah berikan untuk menaikkan derajat kita di hadapan-Nya. Allah tidak akan membebani seseorang di luar kadar kesanggupannya.

Hidup di dunia ini tidaklah seberapa lama. Rasulullah Saw bersabda,"Perbandingan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat ialah seperti seorang berjalan di laut, lalu memasukkan satu jarinya ke laut kemudian mengangkatnya. Air yang melekat di jari itulah perumpamaan kehidupan di dunia, (sedangkan air yang masih tertinggal di lautan itulah kehidupan akhirat)."

Sebuah harapan selalu tertanam, semoga hayat kita husnul khatimah….

***

*Sebuah renungan ba'da takziah ke rumah Bu Zulfa, bersama Nabilah dan Mbak Lila hari ini. Subhanallah, beliau begitu tegar*



http://www.fimadani.com/renungan-tentang-kematian/

Sabtu, Juli 09, 2011

Memilih Jodoh Dunia Akhirat

Pagi itu akan ada acara dalam lingkaran cinta beraroma surga di rumah Bu Sari. Sengaja sebelumnya, Bu Sari menyempatkan diri membuka akun emailnya. Sebuah email singkat muncul di inboxnya.

“Assalamualaikum...Afwan jiddan Bu, setelah istikharah, Akh Toto memohon maaf tidak dapat melanjutkan proses dengan Ukh Titi.
Jazakillah khair.”

Email yang dikirim oleh seorang murrabi ikhwan itu membuat mata Bu Sari mengembun. Sejenak kesedihan menyelinap ke dalam ruang hatinya. Ada alasan khusus atas kesedihannya yang tak mungkin ia ungkapkan ke sembarang orang. Pun ada rasa empati yang amat dalam di hatinya pada Titi, binaan yang amat ia sayangi.

Titi, aktivis dakwah itu di mata Bu Sari adalah sosok yang begitu baik dan menyenangkan. Wajahnya biasa saja, tetapi Titi seorang yang santun,disiplin, bertanggungjawab dan amat care. Banyak juga kelebihan lain yang melekat pada diri Titi. Sebagaimana umumnya manusia, sisi kekurangan tentu saja ada pula pada diri atau keluarga gadis itu.

Titi tentu saja belum mengetahui akan hal ini, tentang proses taaruf ini. Tetapi membayangkan Titi yang berperasaan halus dan melankolis, membuat Bu Sari merasa iba. Beberapa waktu sebelumnya, dalam sebuah acara yang mengharukan bersama teman-temannya, Titi menangis cukup lama dan penuh penghayatan hingga matanya sembab.

Bu Sari tak membiarkan kesedihan itu singgah berlama-lama. Bergegas Bu Sari menata hati. Tak lama, kesadaran akan hakikat rezeki dan takdir kembali hadir dalam benaknya. Lalu ia menulis email balasan.

“Waalaikumsalam wr wb. Ya Pak, tidak apa-apa. Apapun yang terjadi pada hakikatnya adalah keputusan Allah dan itu yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Jazakallah khair"

***

Jodoh memang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebelum mengetahui takdir Allah atas jodoh kita, pastilah setiap pasangan harus melewati masa-masa menentukan pilihan. Sah-sah saja seorang ikhwan memilih al ukh yang membuatnya aman dan nyaman, begitu istilah yang ia pakai. Nyaman dilihat, nyaman diajak bicara, nyaman dalam pandangan manusia, pendeknya nyaman dalam segala hal. Kriteria calon pasangan hidup pun dibuat begitu detail. “Cantik dalam pandangan umum,” begitu tulis salah seorang ikhwan dalam proposal nikahnya.

Sungguh ada perasaan kagum yang luar biasa pada seseorang yang memutuskan memilih pasangan hidup yang “biasa saja”, walaupun jika ia mau, sebenarnya akan dengan mudah memiliki yang lebih dari itu. Bisa saja al akh itu memilih wanita yang lebih cantik, lebih muda, lebih pintar, lebih terpandang dalam latar belakang dan status sosial, tetapi ia tidak melakukannya.

Ada juga al akh yang bersedia menerima seseorang yang jauh “berbeda” dengan dirinya. Sangat tidak sekufu, begitu istilahnya. Semuanya ia lakukan untuk kepentingan dakwah dan dalam rangka mempersembahkan pengabdian terbaik pada Rabbnya.

Ada al akh berpenampilan fisik yang sangat jamil menikah dengan al ukh yang berusia beberapa tahun di atasnya. Wanita itu berpenampilan fisik biasa saja, berpendidikan di bawahnya dan dalam beberapa hal lain juga di bawah sang suami.

Ada juga al akh yang berpendidikan cukup tinggi dari sebuah perguruan tinggi ternama dengan jaminan pekerjaan yang pasti, bersedia menikah dengan al ukh asisten rumah tangga. Pernikahan itu langgeng dan berakhir ketika Allah memanggil salah satu dari mereka untuk menghadap-Nya.

Begitulah, banyak orang saleh menjadikan pernikahannya tak semata untuk kenyamanan pribadi saja. Mereka menikah juga untuk mendukung program dakwah dan menyelesaikan problema dakwah. Rasulullah SAW dalam pernikahan beliau juga lebih banyak untuk kemaslahatan dakwah.

Khadijah yang berusia lima belas tahun di atas Rasulullah dinikahi berdasarkan petunjuk Allah. Beliau menjadi wanita pertama yang memeluk Islam dan mendukung dakwah Nabi SAW. Saudah binti Zum’ah -janda berkulit hitam dari Sudan- dinikahi oleh Rasulullah pada saat Saudah berusia 70 tahun, demi menjaga keimanan Saudah dari gangguan kaum musyrikin. Shafiyyah binti Hayyi Aktab, wanita muslimah dari kabilah Yahudi Bani Nadhir yang memiliki 10 anak dari pernikahan sebelumnya, dinikahi Rasulullah untuk menjaga keimanan Safiyyah dari boikot orang Yahudi. Pernikahan Rasulullah dengan isteri-isteri beliau yang lain pun mengemban misi suci untuk meninggikan kalimatullah di muka bumi.

Contoh-contoh di atas terjadi belasan dan dua puluhan tahun yang lalu. Bahkan pernikahan suri teladan kita Rasulullah SAW telah terjadi berabad-abad silam. Untuk masa sekarang kondisinya sudah sangat berbeda. Para murrabi atau murrabiyah yang biasanya berperan dalam proses perjodohan umumnya cukup detail memperhatikan berbagai faktor. Tak hanya tingkat kesekufuan, malahan suku, asal daerah, daerah tempat bekerja, bahkan sifat, hobby, amanah, aktivitas, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya cukup mendapat perhatian. Meski begitu, kegagalan proses malah tidak jarang terjadi.

Hal- hal yang harus senantiasa kita ingat termasuk dalam menjemput jodoh adalah bahwa manusia tiada yang sempurna. Semua orang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mungkin kelebihan atau kekurangan itu tak selalu bisa terlihat oleh mata telanjang kita. Mungkin Si X tidak melanjutkan proses dengan Si A dan memilih menikah dengan Si B. Ia mungkin merasa lebih cocok dengan Si B. Menurutnya ada kelebihan Si B atas Si A, tetapi tentu saja Si A pun memiliki kelebihan yang tidak dimiliki Si B.

Dalam kehidupan dunia ini, kita adalah pemain-pemain peran yang akan mendapatkan penilaian atas setiap peran yang kita mainkan dari Sang Juri Yang Mahaadil. Kita harus senantiasa menanamkan dalam diri masing-masing untuk selalu berusaha memainkan setiap peran dalam berbagai kesempatan dengan sebaik-baiknya. Harapan kita adalah selalu mendapat penilaian tertinggi dari Allah SWT. Salah satu peran penting dalam kehidupan kita di alam fana ini adalah proses menjemput jodoh.

Mengutamakan Allah dalam proses menjemput jodoh, sama sekali bukan berarti tidak boleh tidak melanjutkan proses taaruf atas calon yang ditawarkan. Jika pun ada keberatan, alangkah baiknya kalau hal itu bukan karena hawa nafsu dan pertimbangan duniawi semata. Kita harus mengutamakan sesuatu yang Allah pilihkan melalui istikharah. Kita pun tak sepantasnya hanya mementingkan kenyamanan pribadi, tetapi akan sangat mulia kalau turut memikirkan kemaslahatan dakwah. Rasulullah pernah mengingatkan kita dalam memilih pasangan,“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta/tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang saleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” (HR Ibnu Majah).

Jodoh adalah rahasia Allah dan mutlak di tangan-Nya. Manusia memang hanya bisa berdoa dan berikhtiar untuk menjemputnya. Jika kita mengutamakan Allah dalam seluruh aspek kehidupan kita, termasuk dalam proses menjemput jodoh, maka yakinlah bahwa Allah akan senantiasa bersama kita. Allah akan menganugerahi rasa cinta yang dalam pada pasangan, memberikan kemudahan dan keberkahan dalam pernikahan kita. Pun kemudahan dan keberkahan dalam hidup kita yang dipenuhi cinta, kasih sayang, dan keridhaan Sang Penguasa Jagat Raya, Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga…

Wallahualam bishawab

*** http://www.fimadani.com/memilih-jodoh-dunia-akhirat/

Selasa, Juni 14, 2011

Melepas Perginya


Hari ini tepat dua tahun meninggalnya Mas Muslih, suami yang sangat aku cintai. Sungguh, tak kuduga sebelumnya jika secepat itu beliau ditakdirkan Allah meninggalkan kami untuk selama-lamanya 

Malam sebelumnya,  aku terbangun dari tidur ketika pintu diketok. Sekitar jam 12.00 malam, Mas Muslih pulang dari rapat pengurus RW. Segera aku siapkan makanan dan minuman untuk beliau. Kebetulan ba’da Isya tadi ada teman yang mengantar aqiqah anaknya. Beliau belum makan. “Mas, maafin aku ngantuk banget ga bisa nemenin, barusan aja bisa tidur. Tadi Farras rewel”, kataku mencari pemakluman. Beliau mempersilakan aku kembali istirahat. Beliau makan sendirian. Kini kalau mengingatnya aku sering menyesal. Aku tentu  tak tahu , malam itu adalah malam terakhirku bersama suami.

Aku memang agak capek. Sabtu pagi hingga sore, aku pergi seharian. Pagi ada acara ibu-ibu Jurtim, siangnya ngaji hingga sore. Pas pulang, anak-anak dan Mbaknya sedang bermain di rumah tetangga. Alhamdulillah, sore itu aku bisa menemani Mas Muslih berdua saja hingga Maghrib tiba. Sesudahnya aku kembali mengurus anak-anak, menyuapi makan, menemani tidur sambil mendongeng. Nabilah sebelum masuk SD, memang suka dongeng. Ia suka dongeng ciptaan uminya sendiri. Dongeng pengantar tidur untuknya bisa dua hingga lima cerita, sampai ia tertidur.

Mas Muslih di hari- hari terakhir menjelang kepulangannya, amat rajin bangun malam tanpa ada yang membangunkan. Satu hal yang sebenarnya menjadi tanda tanya dalam hatiku saat itu. Biasanya memang beliau juga bangun malam, agak mendekati Subuh tetapi masih ada sedikit waktu untuk qiyamul lail. Jarang bangun sendiri, seringnya dibangunkan, kadang dengan sedikit paksaan halus. Malam itu, belum lama beliau beristirahat tiba- tiba segera bangun. Bergegas beliau membersihkan badan. Lalu menjalankan qiyamul lail dengan lama. Sepertinya khusyu sekali.

Paginya setelah dzikir dan tilawah, beliau bermain dengan anak laki-laki kami yang saat itu berusia dua tahun. Suatu hal yang menyenangkan dan menggembirakan Farras adalah bermain bola di masjid bersama abi. Saat itu, aku dan mbaknya memasak di dapur. Tak lama, Nabilah yang suka dan terbiasa jalan-jalan pagi naik motor, mulai mengajakku jalan-jalan. Mas Muslih yang baru pulang menemani Farras , ikut bergabung. Sebenarnya aku sudah mempersilakan beliau istirahat saja. Aku kasihan semalam beliau hanya tidur sebentar sekali, tak sampai dua jam. Beliau menolak. Akhirnya kami jalan-jalan berempat naik sepeda motor. Sepanjang jalan beliau menunjukkan rasa sayang yang amat pada kami. Juga pada teman-temannya. Beliau menceritakan dan mengenang kebaikan orang-orang di sekitarnya. 

Hari itu ada acara di Cilegon. Aku menurut saja ketika beliau mengatakan agar aku tak usah ikut acara kali ini. “Kasihan anak-anak ditinggal-tinggal Mi,” ucapnya lembut. Beliau memang tahu, aku paling tidak bisa dan akan merasa bersalah jika meninggalkan anak-anak terlalu lama. Lagipula, hari itu aku memang agak pusing. Sore harinya aku juga sudah ada jadwal bersama teman-teman. 

Setelah shalat Dhuha, beliau pergi. Semula beliau minta diantar saja sampai lokasi tempat berkumpul teman-temannya. Aku benar-benar heran, tak biasanya beliau begitu. Kami ada dua motor, jadi tidak masalah jika satu motor dibawa pergi. Setelah ngobrol dan sedikit menyatakan keherananku, akhirnya beliau pergi membawa motor sendiri. Hal yang tak biasa juga, kunci motor itu dititipkan temannya yang rumahnya tak jauh dari lokasi berkumpul. Biasanya jika bepergian, kunci itu tetap dibawanya sendiri.

Shalat Dzuhurku siang itu penuh linangan air mata. Entahlah, saat itu aku begitu melankolis dan merasakan sayang yang amat dalam pada anak-anak dan suami. Nabilah pun yang  biasanya menjadi bahan ujian kesabaranku, hari itu begitu manis bersikap.

Setelah shalat, aku sempat beberapa saat membuka layar komputer. Tak lama, ada telepon bergantian dari teman-teman. Mereka menginformasikan bahwa ada sebuah mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan. Aku diminta mencari informasi seputar mobil yang kecelakaan itu plus kabar suami. Lalu kucoba beberapa kali menelepon nomor suami. Tak ada jawaban, nomornya tak aktif. Perasaanku tak karuan, terasa lemas tak berdaya. Aku jadi menduga sesuatu telah terjadi pada suamiku. Aku masih berharap bahwa semua ini tidak benar. Mereka tak satupun ada yang mengatakan dengan pasti apa yang terjadi pada suamiku. Aku masih berharap, bahwa kesimpulanku ini salah. Sungguh aku masih berharap  bahwa semua ini tidak benar. Hingga beberapa teman datang. Kursi dan tenda pun dipasang. Satu demi satu teman-teman dan tetangga lain pun berdatangan sambil memelukku.
Tak sanggup lagi diri ini berucap. Ya Allah…

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Satu peristiwa mengejutkan yang tiada kuduga  sebelumnya,   telah terjadi.   Kecelakaan tunggal itu, telah mengantarkan suamiku berpulang menghadap-Nya.   Luluh lantak hati dan perasaanku kala itu.  Aku masih berharap ini hanya sebuah mimpi buruk . Tapi ini nyata. Jiwaku terasa pedih dan air mata terus mengalir.

Aku berusaha menguatkan diri. Alhamdulillah aku  masih bisa menemui para tamu. Lalu aku juga  menelepon mertua dan saudara-saudara.  Mertuaku meminta jenazah anak kesayangannya itu dimakamkan di kampung. Aku menurut saja. Sambil menunggu jenazah tiba, Mbak membantuku menyiapkan pakaian dan barang-barang untuk pulang kampung. 

Atas inisiatif sendiri, tetangga dan sahabat-sahabat bergerak membantuku. Semuanya mereka yang menangani. Aku malah tak tahu apa-apa sama sekali. Banyak sekali yang datang menyatakan bela sungkawa dan menguatkanku. Hampir semua orang yang datang kulihat turut mencucurkan air mata. 

Jenazah baru tiba menjelang Maghrib dan dishalatkan setelah shalat Maghrib. Allah menakdirkan, almarhum suami dishalatkan oleh banyak sekali  orang. Saat itu Masjid Ar Ridho yang luas,  dipenuhi para pentakziah.

Ba’da Maghrib, jenazah diberangkatkan menuju Purbalingga. Banyak  sekali orang yang turut mengantarkan jenazah almarhum ke kampung halaman, yang tentunya merelakan esok harinya harus membolos kerja. Banyak juga tetangga dan teman  yang meminjamkan mobil untuk mengantar para pentakziah.  Kepedulian saudara, sahabat , dan tetangga yang luar biasa sungguh menguatkan jiwa.


Sepanjang  jalan,   aku  tak bisa tidur. Rasanya  masih belum percaya dan masih berharap bahwa semua ini hanya mimpi  Air mata terus saja mengalir. Aku  amat mencintai suamiku.  Lalu bertanya pada diri, mampukah aku hidup di dunia ini tanpanya lagi. Suami dan ayah yang luar biasa baik bagi kami. Sosok yang tak pernah tergantikan dalam hidupku, dalam ruang hatiku.

Kini dan selamanya, aku selalu memohon pada-Nya agar Allah mengaruniai kebahagian pada suamiku di alam sana. Pun kebahagiaan pada kami di sini. Di dunia ini hingga akhirat nanti. Semoga...


*


Catatan panjang ini dibuat sebagai prasasti, spesial ditujukan untuk anak-anak kami : Nabilah & Farras. Suatu saat nanti, insya Allah dan semoga mereka akan mengerti dan memahami dengan sangat.

Senin, Januari 17, 2011

Kesan Muslimah Negeri Jiran

Masjid Al Hikmah belasan tahun silam. Kami tengah bersama menghadiri sebuah kajian. Acara belum dimulai. Zulaikha namanya (bukan nama sebenarnya), seorang muslimah warga negara Singapura yang tengah menuntut ilmu di Jakarta, bersamaku dalam sebuah perbincangan menarik. Ia menceritakan bahwa dirinya senang tinggal di Indonesia karena apa-apa murah dan penduduknya ramah.

“Tetapi sungguh disayangkan, di Indonesia ini kotor dan tidak disiplin, padahal sebagian besar rakyatnya muslim. Sikap seperti itu berbeda sekali dengan ajaran Islam sendiri, ” komentarnya dengan logat Melayu yang kental. Ia membandingkan dengan negaranya yang serba bersih dan sangat menjaga kedisiplinan. “Di Singapura tak ada acara yang molor, semua berjalan sesuai dengan waktu yang direncanakan...,” imbuhnya dengan tutur kata yang lembut, tanpa terkesan merendahkan.

Hmmm... molor? Sepertinya banyak acara-acara kita memang sering molor dari waktu yang direncanakan. Acara pukul 09.00 seringkali baru dimulai paling cepat pukul 09.30, acara pukul 13.00 baru akan dimulai 13.30 dan seterusnya. Hal seperti ini memang agaknya sudah membudaya dalam bangsa kita.

Lain dengan yang ini. Acara di sebuah masjid Ahad siang kemarin, memberi warna berbeda. Tak sampai tiga menit aku menunggu, acara sudah dimulai pukul 13.00 teng. Aku menulis kesanku dengan menulis status di FBku yang jarang aku update, “ Aku suka acara Ahad siang kemarin coz ON TIME. Hmmm... yang kayak gini nih perlu dilestarikan...:)”. Teman-teman ikut memberi komentar bahwa kebiasaan seperti itu memang harus dibudayakan.

Aku setuju dengan teman-teman bahwa kita memang harus membangun budaya disiplin termasuk disiplin dalam hal waktu. Kita harus meninggalkan kebiasaan molor atau telat hadir dalam suatu acara. Sesekali dimaklumi jika kita telat karena alasan yang benar-benar syar’i, bukan karena kurang baik dalam memenej diri. Mungkin dengan hadir tepat waktu, akan menghabiskan sebagian waktu kita untuk menunggu peserta lain yang belum datang. Semua itu tidak sia-sia karena hal itu merupakan peran serta kita membangun budaya. Di mata Allah, amal sekecil apapun yang kita niatkan untuk-Nya akan mendapat balasan dari- Nya, karena Allah Swt adalah sebaik-baik pemberi balasan dan Mahaadil. Lagipula kita bisa menggunakan waktu menunggu itu sambil mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, seperti tilawah Al Qur’an, membaca buku, atau mengobrol dengan teman agar lebih akrab.

Ah... hingga kini obrolanku dengan muslimah negeri jiran itu masih saja terngiang. Kata-kata yang diucapkannya belasan tahun silam itu, seperti baru kemarin sore terdengar. Kini terngiang juga lagu merdu Raihan yang berisi nasihat agar tak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan...

Demi masa...
Sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh

Demi masa...
Sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan nasihat kepada kebenaran dan kesabaran

a a a.....

Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali

Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sehat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati...


***
Tulisan ini terutama buat diri sendiri yang masih harus banyak melakukan perbaikan :)