Minggu, Juni 28, 2009

Kini Suamiku Telah Kembali

Berbekallah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
Relakah dirimu... menyertai segolongan orang?
Mereka membawa bekal sedangkan tanganmu hampa

Rasulullah bersabda...
Perbanyaklah mengingat
Akan pemusnah segala kenikmatan dunia
Itulah kematian ...yang kan pasti datang
Kita tak tahu kapan waktunya kan menjelang...

Bait-bait syair Suara Persaudaraan itu memang sering kunasyidkan di hari-hari terakhir menjelang kepergian suami. Aku meresapi betul lirik demi lirik nasyid itu, hingga kadang titik-titik air mata turut membasahi pipi.

Kematian memang telah pasti datang. Malaikat Izrail bisa menjemput kita kapan dan di mana saja. Meski begitu, sungguh … tak terbayang sebelumnya di benakku, suamiku akan pergi meninggalkan kami secepat itu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.

***

Hari itu sang raja siang masih menampakkan keperkasaannya. Sinarnya memancar menerangi mayapada. Siang terik. Deringan suara handphone membuatku segera beranjak dari tempat duduk. Telepon dari teman dekat. Setelah memberi salam, menanyakan kabar, dan keberadaanku, beliau menanyakan sesuatu.

“Bu, sudah tahu kabar kalau ada salah satu mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan?’’ tanyanya pelan.

Innalillahi…,” aku mengucap kalimah tarji’, lalu memberondongnya dengan beberapa pertanyaan. Kemudian beliau menyarankanku untuk mencoba mencari-cari informasi. Aku langsung menghubungi nomor suami tetapi tidak aktif. Dalam cemas, aku mencoba husnudzan -mungkin batterainya drop. Aku masih berusaha menghubungi nomor teman-teman ketika seorang teman dekat yang lain menelepon ke rumah. Dengan pelan dan lembut, beliau menanyakan kabar suami. Deg…tiba-tiba aku lemas, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada ayah anak-anakku, belahan jiwaku. Apalagi ketika kuhubungi nomor seseorang, beliau mengatakan ia dan suaminya akan segera ke rumah, isak tangis ini tak tertahan, perasaan hati pun tak karu-karuan. Langit yang cerah tampak hitam, gelap, pekat.

“Bu... sabar, ikhlaskan kepergiannya ya...! Suami Ibu kan orang baik, insya Allah khusnul khatimah,” hibur teman-teman sambil memelukku dengan berlinang air mata.

***

Ahad, 14 Juni 2009 pukul 12.45 WIB. Hari itu suami yang sangat kucintai, telah dipanggil pemiliknya. Beliau mendapat amanah mengarungi perjalanan hidup di alam fana ini hanya selama tiga puluh sembilan tahun lebih tiga puluh tiga hari. Selama itu pula, beliau hampir tak pernah sakit -kecuali sakit ringan, seperti flu- dan belum pernah sekalipun masuk rumah sakit. Kepergiannya yang begitu cepat, tanpa sakit, tanpa pamit begitu mengagetkan. Kala itu, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, dan kehilangan semuanya.

Suamiku adalah kekasihku, belahan jiwaku. Cintaku pada beliau teramat dalam, jauh lebih dalam dari yang kutahu selama ini. Banyak kenangan indah kami lalui bersama dengan penuh cinta.

Suamiku adalah teman sejatiku. Aku bersyukur pada Allah karena telah mengaruniaiku seorang teman hidup yang begitu baik. Meski dalam kebersahajaan dan kesederhanaan, aku sangat berbahagia hidup bersamanya.

Suamiku adalah guruku. Pada beliau, aku banyak belajar lebih dalam lagi tentang hidup dan kehidupan, tentang keikhlasan, tentang pengorbanan dan tentang pengabdian seorang hamba pada Rabbnya. Beliau tak lupa selalu memotivasiku untuk memperbaiki kualitas diri sebagai seorang hamba di hadapan Sang Pencipta.

Kini suamiku telah kembali, kembali pada pemiliknya yang sejati. Telah kuikhlaskan kepergiannya. Doa senantiasa menyertai perjalanan suamiku tercinta, semoga Allah mengampuni, memaafkan dosa-dosa, menerima amal ibadah, melapangkan kuburnya dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Kumohon jua kiranya Allah senantiasa mengaruniai kami - keluarga yang ditinggalkan- kesabaran , ketabahan, dan kemudahan dalam segala urusan, aamiin.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah engkau pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surga-Ku“ (QS Al Fajr: 27-30)

Tulisan ini untuk mengenang kepergian Alm. Mas Muslih. Beliau dimakamkan di kampung kelahirannya : Limbangan, Kutasari, Purbalingga. Tulisan ini juga dipublikasikan di Eramuslim, 29 Juni 2009
http://www.eramuslim.com/oase-iman/kini-suamiku-telah-kembali.htm

Jumat, Juni 05, 2009

Masuk Penjara karena Email

Rabu siang tanggal 3 Juni 2009. Tayangan sebuah televisi swasta tiba-tiba menarik perhatian saya. Ya... karena seseorang masuk penjara gara-gara sebuah email. Email tersebut ditulis dan dikirim ke beberapa teman. Isinya menyatakan ketidakpuasan pelayanan sebuah rumah sakit swasta di Tangerang Selatan. Kabarnya email tersebut akhirnya menyebar melalui sebuah milis dan sampai ke pihak manajemen rumah sakit yang bersangkutan. Saya tak hendak membicarakan kronologis masalahnya. Berbagai media massa, cetak dan elektronik sudah ramai menginformasikannya.

Sebagai orang yang juga lumayan aktif di dunia maya, saya memang kaget dibuatnya. Saya takut juga. Baru kali ini mendengar ada UU ITE yang bisa memenjarakan orang sampai sedemikian lama. Saya juga suka menulis. Alhamdulillah, selama ini saya menulis yang safe-safe saja. Kalau bertanya atau mengomentari sesuatu di dunia maya, saya lebih suka memakai nama samaran dan cenderung memilih kalimat-kalimat yang safe.

Saya memahami sekali Ibu Prita Mulyasari. Sebagai sesama wanita, saya ikut trenyuh kala melihatnya di televisi, saat masih di penjara atau ketika bertemu buah hatinya. Air mata ini pun tak terbendung membasahi pipi. Terbayang betapa pedih dan pilu hati seorang ibu, kala harus meninggalkan anak-anak yang masih sangat kecil dan juga suami untuk masuk bui. Tak dinyana sebuah curhat akan sebegini akibatnya.

Banyak hal yang saya dapatkan dari kasus Ibu Prita ini. Sikap pihak rumah sakit yang dirasa oleh banyak orang berlebihan, malah kontra produktif. Senjata makan tuan. Semula, mungkin pihak rumah sakit ingin reputasi, nama, dan kelasnya sebagai rumah sakit internasional terjaga dari image negatif orang-orang yang membaca email Ibu Prita. Kenyataan yang terjadi justru bertolak belakang. Hal-hal yang tadinya hanya diketahui oleh sedikit orang – sebatas pembaca email- malah sekarang berkembang tak terkendali dan menyebar kemana-mana menjadi sebuah aib. Sebagai orang awam, saya tak mengetahui apakah rumah sakit tersebut telah melakukan mall praktik atau tidak. Namun, sebuah kritik – disampaikan secara halus ataupun tidak- hendaknya ditanggapi dengan bijaksana dan proporsional. Ada baiknya mengoreksi diri. Kita adalah manusia atau kumpulan manusia yang sangat mungkin untuk berbuat kesalahan. Pengakuan akan sebuah kesalahan yang telah dilakukan tidak akan mengurangi citra diri seseorang, suatu lembaga, atau institusi. Orang justru akan mengacungkan jempol terhadap sebuah pengakuan kesalahan.

Pun halnya dengan Ibu Prita. Menurut saya, tak ada yang salah dari tindakannya. Beliau mengirim email ke sejumlah temannya berisi curhat dan kritik atas ketidakpuasan pelayanan sebuah rumah sakit adalah wajar-wajar saja. Saya pun setuju atas substansi email tersebut. Hanya saja, mungkin pilihan katanya perlu lebih diperbaiki agar tak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki. Saya memahami Ibu Prita atas semua yang telah terjadi. Anggapan bahwa email itu hanya dikirimkan ke kalangan terbatas, mungkin membuat beliau menggunakan bahasa yang cenderung lugas tanpa pilihan kata yang lebih diplomatis. Kalau seandainya beliau akan mengetahui bahwa email tersebut akan masuk ke ranah publik, mungkin pilihan kata dan kalimat yang diambil akan berbeda. Selama ini saya mengamati beliau dari wawancara-wawancara di berbagai televisi. Kesan saya, beliau cukup berhati-hati dalam memilih kata-kata yang diungkapkan. Untuk beliau, saya turut mendoakan semoga Allah memudahkan semua urusan. Doa pun turut dipanjatkan agar keadilan di negeri ini bisa ditegakkan.

Dari kasus ini banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan. Saya –orang Jawa yang umumnya tak suka dikritik secara terang-terangan- harus mau mengubah diri untuk terbuka menerima kritik. Saya pun harus lebih berhati-hati lagi dalam perkataan, baik lisan maupun tulisan. Sebuah ungkapan yang menyeramkan “mulutmu adalah harimaumu” cukup sebagai peringatan. Rasulullah pun pernah menasihati ummat ini,” Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau –kalau tidak bisa- diam...” (HR Bukhari Muslim)