Jumat, Maret 07, 2014

Inspirator Kebaikan



Saya sering bertemu dengan seseorang  di sebuah masjid.  Lalu melihatnya berdoa  dengan khusyu selepas shalat. Tak jarang disertai tetesan  air mata.  Sebut saja namanya Ani.  Usianya beberapa tahun  lebih muda dari saya.  Saya melihatnya sebagai sosok yang ceria, supel, pintar, cerdas, gesit, dan ulet. Penilaian ini, sama persis dengan komentar seseorang di kantor lamanya.

Karier Ani terbilang bagus  di sebuah instansi pemerintah yang basah.  Ia sudah masuk eselon IV sekitar tujuh tahun yang lalu. Tak lama kemudian, ia mendapat beasiswa S2.  Namun belum lama ini,  Ani memutuskan pindah instansi,  karena alasan keluarga dan  kenyamanan.

Dulu sebelum dekat dan sering ngobrol dengannya, saya pernah membatin. Saya tahu Ani  dan suaminya berpenghasilan besar. Selain penghasilan utama, mereka juga mempunyai bermacam-macam  bisnis dan sukses.  Mulai kuliner, properti, dan lain sebagainya. Kadang ia juga mengadakan  sekaligus mengisi sendiri pelatihan berbayar mahal  di hotel-hotel.  Tapi semua itu tak nampak  dalam keseharian Ani dan keluarganya. Rumahnya  sederhana. Tak juga  terlihat ada mobil di  dalamnya. Kemana-mana mereka lebih sering naik sepeda motor.  Kemana hasil kerja keras mereka selama ini?

Hidup ini memang  sawang sinawang. Rumput tetangga kadang terlihat lebih hijau. Kita tak tahu di balik semua itu, seseorang memiliki ujian besar dalam hidupnya. Ada  suatu  kondisi yang kadang mengharuskan seseorang  bekerja keras. Bahkan ekstra keras hingga ibarat kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Kadang hasilnya pun  tak  seberapa banyak  yang bisa ia  nikmati  di dunia ini.

Allah bisa jadi  mengaruniai seseorang penghasilan yang besar. Dari penghasilan besar itu, kadang kala  tak semuanya menjadi rezeki orang itu sendiri.  Kadang uang yang masuk sebenarnya adalah rezeki orang lain. Hanya sebagai perantara.  Seperti Ani. Penghasilannya memang besar. Tetapi ia harus mengeluarkan dana besar untuk pengobatan ayahnya yang sakit jantung.  Ia pun tak tega dan  turut membantu saudaranya yang mengalami kejatuhan bisnis.  Konon hutang saudaranya itu berjumlah  hingga milyaran rupiah.

Saya banyak  belajar dari  Ani, sosok yang hebat tetapi rendah hati.  Ujian hidupnya ternyata cukup berat, namun  ia menghadapinya dengan santai, tegar, dan  sama sekali tak  menampakkannya.  Memang ujian-ujian berat seringkali  tak dianggap sulit bagi orang-orang yang memaknai hidup secara baik. Orang-orang yang meyakini  pertolongan-Nya dan  senantiasa mendamba  cinta dari langit. Mereka selalu  berpikir, berperilaku,  dan bekerja untuk mengumpulkan pundi-pundi kebaikan dan kasih sayang-Nya.  Meyakini bahwa semua akan ada perhitungannya, akan  ada balasannya. Balasannya  memang  tak selalu di  dunia fana ini,  tapi  pasti  di  suatu negeri yang abadi nanti.

Fatherless



Waktu menjemput Farras yang sedang bermain di rumah temannya, saya ngobrol dengan ibunya. Ibu ini seorang guru, namanya Bu Ratna. Banyak hal yang saya dapatkan dari beliau. Beliau mengatakan bahwa memang berbeda antara anak yang hidup dalam pengasuhan bersama ayah dan tanpa ayah. Tanpa ayah di sini bukan hanya karena ayahnya sudah tiada atau bercerai dengan ibunya. Bisa juga karena ayahnya yang terlalu sibuk. Karena kesibukannya, sang ayah tidak banyak atau bahkan nyaris tak berperan dalam tumbuh kembang anak-anaknya.

Anak-anak saya juga hanya diasuh oleh saya, single parent. Dulu keluarga kami adalah keluarga yang harmonis. Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kehangatan dan kasih sayang kami berdua. Suami saya sangat menyayangi dan berperan besar dalam pengasuhan anak-anak kami. Hampir tiap pagi sebelum berangkat kerja, beliau bermain bersama anak-anak kami. Beliau sangat akrab dan sering bermain bola dengan Farras. Sekarang kondisinya tentu berbeda.

Saya juga pernah mendengar bahwa sekitar 70% penghuni penjara dengan hukuman seumur hidup adalah anak-anak yang tumbuh kembang tanpa ayah. Meski demikian, hal ini tak lantas membuat hati saya kecut atau pesimis. Ayah anak – anak saya, meninggalkan kami karena kehendak-Nya. Maka saya pun teringat pertanyaan dan ucapan Bunda Hajar pada suaminya. Bunda Hajar mengatakan bahwa jika Nabi Ibrahim meninggalkan dirinya dan putra mereka Ismail atas kehendak-Nya, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka. Saya pun sangat meyakini hal ini. Meyakini bahwa jika Allah menghendaki, semua akan ada jalannya. Akan ada pertolongan-Nya dari arah yang tak disangka-sangka. Tugas kita hanya menguatkan doa dan memaksimalkan ikhtiar.

Saya sendiri sejak balita hingga dewasa juga tumbuh dalam pengasuhan orang tua tunggal. Ayah saya meninggal, saat anak-anak masih kecil. Adik bungsu saya kala itu usianya masih belum genap lima bulan. Tentu ada yang berbeda dan berkurang dalam hidup kami secara material maupun nonmaterial. Waktu itu, kami harus hidup sangat sederhana dari sedikit hasil sawah dan uang pensiun. Ibu saya tidak bekerja dan harus menghidupi anak yang jumlahnya berkali lipat dari jumlah anak saya. Alhamdulillah atas pertolongan Allah, kami semua relatif baik- baik saja. Sehat jasmani rohani, cerdas, kuat, rajin belajar, dan tumbuh tinggi. :D

Lalu dalam benak saya, teringat anak-anak. Saat ini mereka kadang menjadi bahan ujian bagi saya. Menuntut saya untuk bisa meninggikan tingkat kesabaran. Saya pun meyakini semua akan berubah. Setidaknya hal ini sudah terlihat pada anak pertama saya. Si Kakak dulu sikapnya juga tak jauh berbeda dengan adiknya, terutama jika mempunyai suatu keinginan. Hanya sedikit berbeda, si kakak adalah anak perempuan dan si adik laki-laki. Konon anak perempuan lebih halus dan lebih cepat matang dibanding anak laki-laki.

Saya meyakini bahwa dengan izin dan pertolongan Allah, kelak mereka akan menjadi anak- anak yang matang dan dewasa. Juga menjadi anak-anak yang luar biasa dan membahagiakan. Maka atas semua prosesnya, saya pun meyakinkan diri untuk bisa menikmatinya dengan bahagia dan penuh kesabaran. Sembari berharap agar kiranya bisa memaksimalkan potensi diri dan mempersembahkan prestasi terbaik kita di hadapan-Nya. 


Tabungan Kebaikan



Kemarin bertemu seorang ibu yang sedang  berjalan kaki masuk ke arah Jalan Pesantren. Beliau berusia sekitar 60 tahun. Saya tawari bareng, alhamdulillah bersedia. Nah pas turun, beliau mengucapkan terimakasih yang berulang-ulang sambil bilang bahwa Allah yang akan membalasnya. Saya justru bilang dalam hati bahwa sayalah yang seharusnya berterimakasih pada beliau. Sayalah yang sebenarnya membutuhkan beliau.

Kalau sedang sendirian, saya memang menawarkan pada  orang yang berjalan kaki untuk bareng saya. Senang dan bahagia sekali kalau ternyata ada yang mau bareng. Tanpa keluar uang dan tenaga, saya berharap kiranya yang kecil- kecil begini bisa menambah ‘tabungan’ saya. Iya, saya menyadari bahwa saya tidak seperti ibu-ibu  yang lain yang mempunyai banyak proyek amal kebaikan. Ibu- ibu lain bisa aktif di banyak kegiatan sosial, banyak majelis taklim, banyak pula shadaqah dan infaknya. Sementara saya memiliki banyak keterbatasan.

Maka saya berharap dari yang kecil-kecil, yang remeh temeh seperti ini, bisa menambah tabungan amal saya. Amalan yang bisa menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari perhitungan kelak. Hingga dengan kasih sayang-Nya, kelak kita bahagia di surga-Nya. Semoga…

Selasa, Desember 31, 2013

Terima Kasih Nak ^_^



Menjelang tidur, tidak jarang dua anak saya berantem sampai ramai. Masalahnya sederhana, memperebutkan saya untuk menemani mereka. Padahal mereka masih sekamar. Satu di atas, satu di bawah, dengan model tempat tidur yang ditarik-dorong. Sebenernya sudah ada jadwal, kapan saya bersama Kakak dan kapan bersama Dede. Tapi namanya anak-anak, tetap saja ada alasan untuk berantem. Si Dede kerap bilang, “Dulu waktu aku belum lahir, Kakak kan sudah sering sama Umi.”  :D


Ada lagi kebiasaan anak –anak saya menjelang tidur. Mereka selalu minta didongengkan sebelum tidur sampai tertidur. Saya memang suka melakukan ini, untuk menanamkan nilai-nilai. Apalagi menjelang tidur adalah saat paling efektif untuk ‘menghipnotis’ mereka. Jadilah mereka terbiasa mendengarkan dongeng sebelum tidur.

Tetapi adakalanya saat saya  sedang sakit, saya ingin suasana yang lebih tenang. Ingin juga sesekali istirahat mendongeng. Seringkali mereka menolak, atau membolehkan asal diberi izin untuk menonton TV di luar kamar sampai tertidur. Hanya ada dua pilihan: dongeng umi atau nonton TV. Kalau sudah begitu, saya tentu memilih alternatif pertama.

Sesekali saya memang merasa lelah. Apalagi sebagai tulang punggung keluarga, saya pun harus beraktifitas di luar rumah yang lumayan menguras pikiran dan tenaga. Tapi ketika mengingat besarnya pahala dan ridha Allah, semangat dalam diri ini kembali membara. Pun kalau mengingat bahwa kelak jika anak-anak sudah besar, saya mungkin akan merindukan masa-masa seperti itu. Suatu saat nanti, saya mungkin akan merindukan mereka memperebutkan saya untuk menemani tidur. Merindukan rengekan anak-anak yang minta didongengkan, dan merindukan banyak tingkah polah mereka yang lainnya lagi.

Saya masih terus menerus belajar untuk senantiasa bersyukur dan tidak mudah mengeluh atas apapun sikap mereka. Saat sikap mereka menyenangkan atau sedang menuntut kesabaran. Hingga saat ini, ada banyak orang yang masih merindukan untuk mendapat kesempatan menjadi seorang ibu. Sedangkan Allah telah mengaruniai saya anak-anak sebagai tempat mencurahkan kasih sayang. Mereka adalah ladang amal yang indah dan menjanjikan banyak harapan. Maka atas semua ini, saya pun menikmatinya dengan bahagia. Kelak ketika sudah meninggal, salah satu amalan yang tak pernah putus adalah anak-anak shalih-shalihah yang senantiasa mendoakan orang tuanya.

Terimakasih Nabilah dan Farras sayang …
Kalian adalah penyemangat hidup Ummi. Amanah Allah dan asset yang tak ternilai harganya bagi dunia akhirat Ummi dan Abi. Semoga kalian menjadi pribadi-pribadi shalih- shalihah, muslih-muslihah yang tangguh dan diridhai Allah. Pun menjadi hamba Allah yang bermanfaat bagi sesama, yang mencintai dan dicintai penduduk langit dan bumi. Semoga…^_^

Jumat, Desember 13, 2013

Diduluin Adik Nikah

Akhir pekan lalu, waktu nemenin salah seorang saudara  bersilaturahim ke keluarga  bakal calon suaminya, kami  ngobrol2 ma kakak perempuannya yang belum nikah.  Beliau  ini seorang akhwat, sebut saja  namanya Mbak Nina. Orangnya relatif  manis, kalem,  dan keliatannya  supel. Sebelum ini, Mbak Nina sudah diduluin ma seorang adik perempuannya. Nah, bentar lagi juga bakal diduluin ma adik laki-lakinya.  Adik laki-lakinya ini usianya juga udah 29 tahun, jadi iya memang sudah saatnya menikah.

Alhamdulillah, meski begitu  Mbak Nina  keliatan legowo, ramah,  dan  banyak senyum.  Mbak Nina juga  yang membantu  ngurusin pernak pernik seputar pernikahan adiknya .  Nanya-nanya  ukuran cincin,  sepatu, baju,  dsb yang nantinya  buat seserahan. Mungkin Mbak Nina termasuk orang yang berprinsip  bahwa jika kita memudahkan urusan orang lain, Allah juga akan memudahkan urusan kita. Apalagi urusan adik sendiri hehe

Sebagai sesama  wanita,  tentu saja  kami menaruh empati pada Mbak Nina. Bisa saja di depan kami dan banyak orang lainnya, Mbak Nina tak menampakkan kesedihannya. Mungkin  Mbak Nina lebih memilih  hanya mengadukannya pada Allah. Kalaupun misalnya mungkin sampai nangis2, cukup nangis2 pada-Nya.

Salut buat Mbak Nina.  Semoga Allah memudahkan urusan Mbak Nina dan mbak nina – mbak nina lainnya di dunia ini. ^_^

*Cuma mindain status Fb Rabu lalu ke sini. Hehe… habis blognya jarang diisi :D
Klw mw baca tema serupa bisa di sini  http://www.fimadani.com/pernikahan-saat-kakak-dilangkahi-adik/

Kamis, Juni 06, 2013

Selamat Jalan Ustadz Ragil



Ustadz Ragil Kuncoro, Ak, M.Sc.  telah dipanggil untuk berpulang ke  pangkuan Sang Khalik, Rabu pagi kemarin.  Enam hari sebelumnya, saya sempat  kaget mendengar kabar bahwa beliau sakit hingga koma. Pagi itu, saya kembali dikagetkan dengan  kabar meninggalnya. Kaget karena dua hari sebelumnya,  ada kabar bahwa kondisi beliau  telah membaik. Beliau  sudah siuman, mengenali  dan tersenyum  pada para penjenguk.  Saat itu  kami turut senang dan mendoakan agar beliau segera sembuh dan bisa beraktifitas seperti sedia kala. Namun, rupanya Allah berkehendak lain. 

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali. 

Saya tak  terlalu mengenal  Ustadz Ragil, tetapi saya mengenal isteri beliau, Mbak Lilis Widayani.  Mbak Lilis, kakak kelas dua tahun di atas saya.  Akhwat yang manis,  lemah lembut, dan pelan-pelan bicaranya. Lebih dua puluh tahun silam,  tepatnya awal tahun  1992,  kami sering bersama dalam perjalanan pulang dari Kramat Sentiong mengikuti kursus bahasa Arab. Saat itu kursus bahasa Arab masih jarang-jarang,  tidak  bertebaran  di mana-mana seperti sekarang.  

Saya lebih banyak mengenal Ustadz Ragil  dari milis sebelah. Seringkali  saya mengamati postingan atau komentar orang-orang di milis itu.  Salah satu milister yang aktif adalah Ustadz Ragil. Sepuluh hari  menjelang wafatnya, beliau pun  masih berkesempatan menulis. 

Subhanallah, cara beliau mengungkapkan pendapat patut  dicontoh. Pun demikian, ketika beliau menyampaikan ketidaksetujuan atas pendapat orang lain. Kata-katanya terpilih, cerdas, santai, dan santun. Sesuatu yang menunjukkan kelemahlembutan dan kemuliaan akhlak. 

Siang itu, ketika melepas keberangkatan Almarhum  menuju tempat istirahatnya yang  panjang, air mata pun bercucuran di wajah-wajah para pentakziah. Beberapa sambutan  tengah disampaikan dan doa-doa tulus tengah dimohonkan dengan khusyu.

Selamat jalan Ustadz Ragil...
Doa kami menyertai. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa, memberikan  tempat terbaik di sisi-Nya, memberikan kebahagiaan, dan memasukkan beliau ke dalam golongan ahlul jannah. Kami di sini menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan beliau.  Buat Mbak Lilis dan seluruh keluarga yang ditinggalkan, semoga Allah  senantiasa menganugerahi keikhlasan, kesabaran, ketabahan, dan  kemudahan dalam segala urusan.

***
Saat ini, ketika menulis catatan ini, saya  kembali merenung. Teringat oleh saya nasihat Imam Ghazali, bahwa yang paling dekat dengan kita di dunia ini adalah kematian.  Kita tak tahu kapan, di mana, dan sedang apa saat sang maut menjemput. Bisa saja  esok atau lusa bahkan beberapa  jam atau beberapa menit  lagi, kita bukan lagi penghuni alam dunia ini. 

Hidup di dunia ini hanya sekali, tak kan bisa kita mengulanginya lagi. Kesenangan  atau kesusahan yang kita lalui hanya sementara saja. Semuanya adalah ujian Allah.  Semoga kita bisa  menulis jawaban terbaik di setiap  lembaran ujian kehidupan  ini,  dan mempersembahkan prestasi terbaik  di hadapan-Nya.  Pun  mampu menyiapkan  sebaik-baik bekal  untuk  memulai kehidupan  baru di alam sana nanti. Semoga…