Jumat, Maret 07, 2014

Fatherless



Waktu menjemput Farras yang sedang bermain di rumah temannya, saya ngobrol dengan ibunya. Ibu ini seorang guru, namanya Bu Ratna. Banyak hal yang saya dapatkan dari beliau. Beliau mengatakan bahwa memang berbeda antara anak yang hidup dalam pengasuhan bersama ayah dan tanpa ayah. Tanpa ayah di sini bukan hanya karena ayahnya sudah tiada atau bercerai dengan ibunya. Bisa juga karena ayahnya yang terlalu sibuk. Karena kesibukannya, sang ayah tidak banyak atau bahkan nyaris tak berperan dalam tumbuh kembang anak-anaknya.

Anak-anak saya juga hanya diasuh oleh saya, single parent. Dulu keluarga kami adalah keluarga yang harmonis. Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kehangatan dan kasih sayang kami berdua. Suami saya sangat menyayangi dan berperan besar dalam pengasuhan anak-anak kami. Hampir tiap pagi sebelum berangkat kerja, beliau bermain bersama anak-anak kami. Beliau sangat akrab dan sering bermain bola dengan Farras. Sekarang kondisinya tentu berbeda.

Saya juga pernah mendengar bahwa sekitar 70% penghuni penjara dengan hukuman seumur hidup adalah anak-anak yang tumbuh kembang tanpa ayah. Meski demikian, hal ini tak lantas membuat hati saya kecut atau pesimis. Ayah anak – anak saya, meninggalkan kami karena kehendak-Nya. Maka saya pun teringat pertanyaan dan ucapan Bunda Hajar pada suaminya. Bunda Hajar mengatakan bahwa jika Nabi Ibrahim meninggalkan dirinya dan putra mereka Ismail atas kehendak-Nya, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka. Saya pun sangat meyakini hal ini. Meyakini bahwa jika Allah menghendaki, semua akan ada jalannya. Akan ada pertolongan-Nya dari arah yang tak disangka-sangka. Tugas kita hanya menguatkan doa dan memaksimalkan ikhtiar.

Saya sendiri sejak balita hingga dewasa juga tumbuh dalam pengasuhan orang tua tunggal. Ayah saya meninggal, saat anak-anak masih kecil. Adik bungsu saya kala itu usianya masih belum genap lima bulan. Tentu ada yang berbeda dan berkurang dalam hidup kami secara material maupun nonmaterial. Waktu itu, kami harus hidup sangat sederhana dari sedikit hasil sawah dan uang pensiun. Ibu saya tidak bekerja dan harus menghidupi anak yang jumlahnya berkali lipat dari jumlah anak saya. Alhamdulillah atas pertolongan Allah, kami semua relatif baik- baik saja. Sehat jasmani rohani, cerdas, kuat, rajin belajar, dan tumbuh tinggi. :D

Lalu dalam benak saya, teringat anak-anak. Saat ini mereka kadang menjadi bahan ujian bagi saya. Menuntut saya untuk bisa meninggikan tingkat kesabaran. Saya pun meyakini semua akan berubah. Setidaknya hal ini sudah terlihat pada anak pertama saya. Si Kakak dulu sikapnya juga tak jauh berbeda dengan adiknya, terutama jika mempunyai suatu keinginan. Hanya sedikit berbeda, si kakak adalah anak perempuan dan si adik laki-laki. Konon anak perempuan lebih halus dan lebih cepat matang dibanding anak laki-laki.

Saya meyakini bahwa dengan izin dan pertolongan Allah, kelak mereka akan menjadi anak- anak yang matang dan dewasa. Juga menjadi anak-anak yang luar biasa dan membahagiakan. Maka atas semua prosesnya, saya pun meyakinkan diri untuk bisa menikmatinya dengan bahagia dan penuh kesabaran. Sembari berharap agar kiranya bisa memaksimalkan potensi diri dan mempersembahkan prestasi terbaik kita di hadapan-Nya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar