Senin, September 10, 2012

Luar Biasa, AKP Membawa Turki Bangkit


Kemenangan luar biasa yang dicapai  Partai  Keadilan dan Pembangunan atau AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) Turki, menginspirasi para kader PKS Pondok Aren untuk  mendiskusikannya. Mereka mengadakan  bedah buku  berjudul Kebangkitan Pos-Islamisme, Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu  pada Ahad, 9 September 2012.  Hadir sebagai pembicara adalah penulis  buku tersebut Ustadz Ahmad Dzakirin,S.Si, M.Sc  dan Ustadz  Ika Fithriyadi, Ak.

Ustadz Ahmadz Dzakirin memaparkan bahwa   AKP bekerja keras memulihkan ekonomi Turki dan ‘berpuasa’  untuk tidak berlebihan menikmati fasilitas negara. Alhasil, mereka menang secara meyakinkan tiga kali berturut-turut: 34% (2002), 46% (2007) dan 50% (2011). AKP mematahkan anggapan sementara orang bahwa partai Islam hanya mampu berjualan  moral.  Mereka   membuktikan  sebagai sebuah partai yang mampu menunjukkan kinerja ekonominya  secara  luar biasa.

Di negara kita,  partai  yang  pernah menjadi partai  besar, umumnya  dengan cepat pula meletus. Tidak demikian halnya dengan AKP.   Partai itu mendapat dukungan luas dan  meraih sukses  selama  lima dasawarsa.   Kemungkinan  ada nilai-nilai besar  atas  kesuksesan  AKP yang bisa ditransformasi di Indonesia.

Pemimpin Turki sekarang ini, Recep Tayyip Erdogan adalah seorang visioner yang memiliki visi dan misi yang kuat.  Beliau adalah seorang jenderal jenius yang mampu mengeksploitasi friction and fog of war (perpecahan dan ketidakpastian dalam perang)  menjadi peluang dan kekuatan.  Pengalaman  politik nyata beliau  telah menempanya menjadi pemimpin yang memiliki talenta tinggi, intuisi yang tajam, dan kecerdasan emosional yang matang.

Kehadiran dan sukses AKP setidaknya membawa dua tesis penting. Pertama, kegenialan terobosan para politikus AKP  yang berlatar belakang islamis dalam memecahkan kebekuan politik. Kedua, AKP menawarkan terobosan yang genial dan di luar kejamakan berpikir (out of box) kalangan Islamis. Secara konseptual AKP memberikan interpretasi cerdas tentang sekulerisme, demokrasi dan inter-relasinya dengan Islam. Mereka membantah pesimisme sebagian kelompok Islam (misalnya HT dan Salafi) dan pengamat barat tentang ketidaksinkronan Islam dan demokrasi.

Tesis baru yang dibawa AKP adalah adanya relasi antara islamis-demokrasi -kemakmuran.  Perkawinan islamis progresif  dan  demokrasi  membawa pada kemakmuran. AKP membuktikan diri dapat menjadi partner andal  dalam mengelola negara tanpa korupsi dan amoralitas. Ketika berkuasa AKP memperkuat demokrasi dan pengelolaaan negara yang akuntabel. Ekonomi Turki maju, pengangguran berkurang dan terbuka akses ekonomi yang lebih luas. Turki di bawah AKP mampu bangkit menjadi negara industri baru.

Pemerintahan islamis –Erbakan   hanya berusia pendek  karena kudeta militer. Hal demikian tidak terjadi pada AKP.   Sesuatu yang  menunjukkan kelebihan AKP atas pendahulunya  Partai Refah.

Awalnya AKP hanya  20 persen menguasai media.  Media-media yang ada di Turki saat itu  dikuasai oleh kaum liberal. Dalam jangka waktu lima tahun, AKP  telah mengakuisisi media di Turki sebesar 70 persen. Beliau mengatakan media yang dimiliki oleh AKP Turki benar-benar dijalankan  oleh profesional. Mereka punya koran, radio, televisi dan media online. 

Pada kesempatan tersebut, seorang peserta  berkomentar bahwa kondisi  ekonomi Indonesia dan Turki sebelum AKP  adalah sama. Di sisi lain medan dakwah di  Turki  sebenarnya lebih berat .  Indonesia adalah negara pancasila, sementara Turki adalah negara sekuler. Menurutnya seharusnya PKS bisa mencontoh AKP.   Meski beliau sempat menanyakan kemungkinan ada something wrong, tetapi beliau berpendapat bahwa PKS saat ini tetaplah partai terbaik di Indonesia.  Menurut pengamatan beliau, AKP di bawah Erdogan melakukan perubahan lebih revolusioner dan mengedepankan hal-hal yang disepakati bersama yaitu perbaikan ekonomi. 

Acara bedah buku tersebut  berlangsung menarik dan  memberikan perspektif intelektual yang mengayakan. Tak kalah menariknya pula adalah sebuah  sentilan dari  MC di awal acara. Dengan gaya  yang santai, sang pembawa acara  berkomentar, “Bagaimanakah kita  akan memimpin orang lain, jika belum mampu memimpin diri sendiri?” Sebuah sentilan yang kiranya bisa menjadi bahan renungan, bahwa hendaknya kita lebih berkomitmen dalam hal waktu.

***






Sabtu, Agustus 25, 2012

Dilangkahi Adik



Tika  menyerahkan proposal (biodata) nikah kepada  guru ngajinya, sambil  berpesan agar proposalnya  disimpan sebagai arsip dulu saja.  Ia tidak mau mendahului kakak perempuannya. Kedua orang tuanyapun menginginkan kakaknya menikah lebih dulu, baru Tika.

Gadis manis yang lembut, dewasa,  pengertian, dan keibuan  itu pun  bercerita,  bahwa  sebenarnya ia pun  sudah ingin mengikuti jejak kawan-kawannya yang satu demi satu melangkah menyempurnakan  setengah dien. Bagaimanapun tinggal di sebuah  kota besar, akan merasa lebih tenang kalau  ada kawan dan keluarga  tempat berbagi suka dan duka. Tetapi  menjaga perasaan kakak dan keridhaan orang tua, menjadikannya  lebih mengalahkan keinginan  diri. 

Sudah cukup lama proposal  itu Tika  serahkan.  Ia masih belum  tahu sampai  berapa lama waktu menunggu. Apalagi, kakaknya  pun belum menunjukkan tanda-tanda hendak segera menikah.

Setali tiga uang.  Intan, gadis manis, keibuan,  yang pintar memasak,  luwes dan  selalu ceria itu pun beberapa kali menyatakan kebelumsiapannya  untuk menikah.  Alasannya sama, menunggu kakak-kakaknya.  Sambil meneteskan air mata, ia  mengatakan  bahwa  rasanya  terlalu egois jika mendahului saja kakaknya menikah tanpa mempertimbangkan perasaan kakak-kakaknya . Menurutnya, selama ini kakak-kakaknya  banyak  berjasa dan berkorban untuknya. Mungkin salah satu hal yang menyebabkan kakak-kakaknya menunda pernikahan adalah  karena mereka saat itu harus  turut membantu membiayai pendidikan adik-adiknya.

Intan belum  mengetahui kapan pastinya akan siap menikah.  Semua  tergantung kakaknya. Karenanya, Intan belum bersedia menjalani proses  taaruf dengan siapapun. Ia  tak ingin  ada perasaan memiliki atau terlanjur jatuh cinta  pada seseorang yang belum tentu ditakdirkan Allah untuk menjadi pasangan hidupnya.  Ia ingin menjaga hatinya agar tetap netral hingga saatnya tiba.

***
Anda pernah dilangkahi adik? Atau Anda pernah melangkahi kakak? Bagaimanakah perasaan  Anda saat itu?

Sebagian besar masyarakat kita  memang masih menganggap   tabu jika  seorang  adik melangkahi kakak. Terlebih lagi  kalau sang kakak adalah  wanita. Ada semacam anggapan bahwa seorang kakak yang dilangkahi adik  nanti  akan bernasib sial, sulit bertemu jodoh dan sebagainya. Takhayul memang, tapi itulah yang berkembang dalam masyarakat kita. 

Sebagian lainnya  melarang sang adik melangkahi kakak dengan alasan yang lebih rasional, menjaga perasaan kakak. Bagaimanapun  dalam hatinya yang paling dalam, seorang kakak   akan merasa sedih jika didahului adiknya menikah. Dilangkahi adik  seolah menjadi aib tersendiri bagi seorang perempuan.  Ada perasaan sensitif yang  luar biasa  dalam. Ada perasaan kehilangan sang adik. Ada perasaan  khawatir dianggap tidak laku atau  kalah sama adik,  dan sebagainya.

Banyak misteri Allah dalam hidup ini, di antaranya  jodoh dan  maut. Kita sering menyaksikan di sekitar kita bahwa Allah memanggil hamba-hamba-Nya untuk kembali  menghadap-Nya tanpa melihat usia. Sering kita memperhatikan  banyak keluarga, sang adik dipanggil menghadap Allah terlebih dahulu  bahkan jauh sebelum sang kakak. Pernahkah terlintas dalam benak  kita bahwa hal demikian adalah sebuah aib? Tidak bukan? Hal itu karena kita meyakini sepenuhnya bahwa ajal adalah sebuah keputusan Allah. Tak harus urut berdasarkan  usia.

Demikian halnya dengan pernikahan.  Alangkah baiknya kalau kita mencoba mengubah sudut pandang kita, keluarga kita,  dan  masyarakat kita  bahwa menikah  tak mesti  urut berdasarkan  usia. Mungkin awalnya berat, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan atas izin Allah maka  akan makin banyak orang yang mengubah  pandangannya. Semula  masyarakat  yang menganggap tabu melihat seorang kakak  dilangkahi adik,  akhirnya menganggap hal itu sebagai suatu hal yang biasa saja. 

Alangkah baiknya kita berusaha berpikir bijak dan mencoba memahami orang – orang di sekitar kita. Jika kita sebagai orang tua, ada baiknya kita memahami  semua anak kita. Kita memahami perasaan  anak yang lebih tua ketika dilangkahi adiknya, pun memahami sang adik pula. Bisa jadi sang adik  saat ini banyak  mendapat tawaran untuk menikah. Belum tentu saat sang kakak sudah menikah dan  kita sudah memberi izin pada sang adik,  hal yang sama akan terjadi.  Untuk itu, jika kita menginginkan sang adik menunggu kakaknya , sepertinya akan lebih baik jika disertai batasan waktu menunggu. Dengan sikap bijak  dan doa- doa  tulus kita, bisa jadi Allah akan memudahkan jodoh bagi semua anak kita. Mungkin sang adik  menikah terlebih dahulu tetapi tak lama kemudian  Allah mempertemukan sang kakak dengan jodohnya. 

Jika kita  sebagai  kakak, kita berusaha menguatkan dan   menyamuderakan hati ketika akan dilangkahi adik.  Kita mencoba  mendamaikan perasaan,  dan berusaha mengedepankan Allah di atas segalanya. Ada baiknya bagi kita untuk senantiasa memperbaharui keyakinan  bahwa segala sesuatu yang dilakukan  dengan mengutamakan Allah akan membuahkan hal-hal  indah di dunia dan di akhirat.  Tak ada pengorbanan kita yang sia-sia, termasuk mengikhlaskan adik untuk menyegerakan pernikahan. 

Allah adalah sebaik-baik pemberi balasan.  Pun dengan kasih sayang dan izin-Nya, Allah akan menyegerakan jodoh kita dan mengubah   pandangan orang,  yang semula  negatif  menjadi positif.  Tak lagi ada anggapan miring.  Malah sebaliknya,  orang –orang  sekitar  akan melihat kita sebagai orang yang berjiwa besar.  Semua itu mudah saja bagi Allah. 

Ketika kita dalam posisi adik, kita  berusaha melakukan pendekatan pada seluruh anggota keluarga  terutama  orang tua dan kakak-kakak. Kita perlu meyakinkan orangtua kita bahwa  bukanlah sebuah aib atau suatu kegagalan  jika  ada anak perempuannya yang didahului adiknya menikah.  Justru yang menjadi aib adalah ketika ada anggota keluarga yang bermaksiat kepada Allah.

Kita harus pandai-pandai mengambil hati mereka, sehingga  pada akhirnya   mereka  dengan tulus memberi izin pada kita untuk mendahului kakak. Izin yang sepenuh hati bukan setengah hati, sehingga  kelak seluruh anggota keluarga bisa menerima dan merasa nyaman  ketika ada  anggota keluarga baru. Pun demikian dengan suami kita nantinya.


Kita juga harus pandai-pandai memahami perasaan kakak kita, terlebih kakak perempuan.  Kemungkinan  kakak kita akan menjadi lebih sensitif setelah kita mendahuluinya menikah.  Rasa itu  muncul  bukan saja  akibat  tekanan sosial  dari lingkungan, tetapi  juga adanya perasaan –perasaan lain, termasuk perasaan kehilangan . Selama ini mungkin kita  begitu dekat dengan kakak, tiba-tiba ada seseorang yang masuk dalam kehidupan kita, di saat kakak kita masih sendiri. Oleh karenanya diperlukan kepandaian kita  pula dalam bersikap.

Penting bagi kita untuk  berdakwah pada keluarga, mengkondisikan mereka dengan nilai-nilai Islam. Islam  memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi siapa saja yang  telah  siap menikah untuk segera menikah. Jadi , jelas tidak  ada larangan buat seorang adik  untuk mendahului kakak. Yang penting tinggal bagaimana kita bersikap.  Target kita bukan sekedar  tak  berkurang kemesraan hubungan  antara kita dengan orang tua dan kakak.  Lebih penting lagi, bagaimana nantinya seluruh anggota keluarga, termasuk suami kita  bisa menerima dan diterima  secara  utuh satu sama lain.

Rasulullah Saw bersabda, "Wahai Ali, tiga perkara, janganlah engkau menunda-nundanya; shalat jika telah datang waktunya, jenazah jika telah tiba dan (menikahkan) seorang wanita yang belum menikah jika engkau telah mendapatkan (pasangan) yang cocok (sepadan dengannya)." (HR At-Tirmidzi)

Wallahualam bishawab

Jumat, Maret 30, 2012

Keputusan Santi

Rani membaca tulisan sahabatnya , dengan sedikit hati berdebar. Tulisan yang berputus-putus.
Saya
tidak punya
alasan
yang bisa
saya pertanggungjawabkan
di hadapan Allah
untuk tidak melanjutkan proses ini.



Santi teman ngobrolnya di gtalk pagi itu menuliskan keputusan penting dalam hidupnya. Hati Rani bahagia. Betapa tidak… Awalnya Rani sangat ragu menyampaikan hal-hal penting dalam hidup Santi, hanya melalui dunia maya. Sesungguhnya ia ingin bertemu muka dan berbicara langsung dengan Santi. Sebuah pesan untuk tidak berlama-lama membuatnya memutuskan berkomunikasi dengan Santi melalui telepon dan obrolan di internet secara intensif. Bismillah…Tiga hari waktu yang ia berikan pada Santi untuk mengambil keputusan.


Saban hari Rani berkomunikasi dengan Santi. Ia memahami perasaan bercampur aduk dalam diri Santi. Menerima kehadiran sosok yang belum pernah ia dengar namanya sebelum ini, tentu tidaklah mudah bagi siapapun. Rani sangat memahami. Kalimat-kalimat yang Rani sampaikan untuk Santi tulus karena sayang dan cintanya pada sahabat manisnya itu. “ Mohonlah petunjuk pada Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahasegalanya. Perasaan yang Santi alami wajar terjadi pada siapapun saat menghadapi proses serupa. Saya sering mendengar cerita mengenai hal ini, tetapi kebanyakan dari mereka pada akhirnya setelah menikah jatuh cinta pada pasangan hidup yang Allah karuniakan. Cinta yang terkadang luar biasa dan tak disangka-sangka. Tak kenal maka tak sayang, itu pepatah betul sekali. Jika memang Santi dan beliau ditakdirkan berjodoh, saya yakin kalian akan Allah karuniai cinta di hati masing-masing untuk pasangan. Tetapi saya, sahabatmu ini, hanyalah seorang manusia yang pengetahuannya terbatas, semuanya putuskan dengan berkonsultasi dengan Allah San...”


Ah Santi sayang, di balik sikapmu yang kadang nampak sedikit kekanakan kau ternyata seorang yang dewasa dalam bersikap. Semoga ridha Allah bersamamu, menyertai selalu dalam perjalananmu . Pun bila saatnya tiba, rasa saling cinta yang dalam, Allah karuniakan padamu dan pasanganmu. Bahagia, hingga menapaki surga-Nya. Aamiin.


#Sebuah cerpen singkat, sekedar pengin nulis. Haha … meski di Fb (dah dipublikasikan 28 Januari 2012) ada “tuduhan” klw ini based on true story  ^_^ #

Senin, Agustus 08, 2011

Merenungi Kematian

Mata wanita itu berkaca-kaca. Beliau tengah bercerita tentang suaminya yang kemarin meninggal dunia. Suaminya dipanggil menghadap Sang Pemilik Jiwa dalam usia yang masih terbilang muda. Baru saja suaminya menyelesaikan pendidikan S2-nya di negeri sakura. Kabarnya sakit hepatitis. Beliau meninggalkan seorang isteri dan tiga anak yang masih kecil. Sulung mereka kelas 2 SD, teman sekelas anak saya waktu kelas satu. Yang paling kecil berusia tiga tahun.

“Sebenarnya Almarhum sudah merasakan sakit sejak bulan Mei, waktu masih di Jepang. Cuma karena saat itu sibuk menghadapi ujian, beliau menunda berobat dan periksa. Beliau mengira sakit biasa saja, dan akan lekas sembuh,” ujar ibu muda itu tegar. Beliau menambahkan putri pertama mereka begitu sering menangis, merasa amat kehilangan. “ Saat mau dibawa ke pemakaman, si kecil juga bertanya, Abi naik mobil mau dibawa ke rumah sakit lagi ya Mi? Kapan Abi pulang?” tutur wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Trenyuh hati kami mendengarnya. Benar-benar trenyuh.

***

Saya merenung. Kesadaran tentang hakikat kematian hadir di dalam dada ini. Kematian adalah suatu keniscayaan, salah satu episode kehidupan yang sering kita saksikan, atau nantinya akan kita alami. Kita dan orang-orang yang kita cintai, suatu saat pastilah akan kembali pada-Nya. Siap atau tidak siap, rela atau tidak rela, kita akan pergi atau ditinggal pergi meninggalkan dunia ini.

Pedih , perih, dan pilu adalah hal yang memenuhi ruang hati saat orang-orang yang kita cintai pergi meninggalkan alam fana ini. Duka yang kita rasakan amat dalam. Rasa kehilangan pun tak henti-henti menghinggapi. Mata pun sembab karena tangisan yang terus mengalir. Semua perasaan yang wajar terjadi. Rasulullah Saw juga meneteskan air mata ketika Ibrahim, putranya, meninggal.

Saya teringat status FB saya sekitar dua bulan lalu. Status yang saya tulis terutama untuk mengingatkan diri saya sendiri. “Kematian, mesti kita memahaminya sebagai sebuah kepastian, tetapi ditinggalkan orang - orang yang kita cintai tetap saja meninggalkan duka yang teramat dalam. Bagi orang beriman yang menjadikan cinta dan ridha Rabbnya sebagai tujuan, tiada lagi pilihan kecuali ikhlas, sabar, ridha dan selalu mensyukuri setiap takdir kehidupan. Semoga Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu mencintai kita…”

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Sebuah kalimat singkat yang maknanya begitu dalam. Kalimat yang memunculkan kembali kesadaran kita akan hakikat kehidupan ini dan apa-apa yang kita miliki. Kalimat yang akan mampu menguatkan jiwa kita.

Meski umumnya wanita memiliki perasaan halus, tetapi memiliki ketegaran jiwa adalah sebuah keharusan. Pun meyakini bahwa setiap ujian adalah kesempatan yang Allah berikan untuk menaikkan derajat kita di hadapan-Nya. Allah tidak akan membebani seseorang di luar kadar kesanggupannya.

Hidup di dunia ini tidaklah seberapa lama. Rasulullah Saw bersabda,"Perbandingan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat ialah seperti seorang berjalan di laut, lalu memasukkan satu jarinya ke laut kemudian mengangkatnya. Air yang melekat di jari itulah perumpamaan kehidupan di dunia, (sedangkan air yang masih tertinggal di lautan itulah kehidupan akhirat)."

Sebuah harapan selalu tertanam, semoga hayat kita husnul khatimah….

***

*Sebuah renungan ba'da takziah ke rumah Bu Zulfa, bersama Nabilah dan Mbak Lila hari ini. Subhanallah, beliau begitu tegar*



http://www.fimadani.com/renungan-tentang-kematian/

Sabtu, Juli 09, 2011

Memilih Jodoh Dunia Akhirat

Pagi itu akan ada acara dalam lingkaran cinta beraroma surga di rumah Bu Sari. Sengaja sebelumnya, Bu Sari menyempatkan diri membuka akun emailnya. Sebuah email singkat muncul di inboxnya.

“Assalamualaikum...Afwan jiddan Bu, setelah istikharah, Akh Toto memohon maaf tidak dapat melanjutkan proses dengan Ukh Titi.
Jazakillah khair.”

Email yang dikirim oleh seorang murrabi ikhwan itu membuat mata Bu Sari mengembun. Sejenak kesedihan menyelinap ke dalam ruang hatinya. Ada alasan khusus atas kesedihannya yang tak mungkin ia ungkapkan ke sembarang orang. Pun ada rasa empati yang amat dalam di hatinya pada Titi, binaan yang amat ia sayangi.

Titi, aktivis dakwah itu di mata Bu Sari adalah sosok yang begitu baik dan menyenangkan. Wajahnya biasa saja, tetapi Titi seorang yang santun,disiplin, bertanggungjawab dan amat care. Banyak juga kelebihan lain yang melekat pada diri Titi. Sebagaimana umumnya manusia, sisi kekurangan tentu saja ada pula pada diri atau keluarga gadis itu.

Titi tentu saja belum mengetahui akan hal ini, tentang proses taaruf ini. Tetapi membayangkan Titi yang berperasaan halus dan melankolis, membuat Bu Sari merasa iba. Beberapa waktu sebelumnya, dalam sebuah acara yang mengharukan bersama teman-temannya, Titi menangis cukup lama dan penuh penghayatan hingga matanya sembab.

Bu Sari tak membiarkan kesedihan itu singgah berlama-lama. Bergegas Bu Sari menata hati. Tak lama, kesadaran akan hakikat rezeki dan takdir kembali hadir dalam benaknya. Lalu ia menulis email balasan.

“Waalaikumsalam wr wb. Ya Pak, tidak apa-apa. Apapun yang terjadi pada hakikatnya adalah keputusan Allah dan itu yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Jazakallah khair"

***

Jodoh memang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebelum mengetahui takdir Allah atas jodoh kita, pastilah setiap pasangan harus melewati masa-masa menentukan pilihan. Sah-sah saja seorang ikhwan memilih al ukh yang membuatnya aman dan nyaman, begitu istilah yang ia pakai. Nyaman dilihat, nyaman diajak bicara, nyaman dalam pandangan manusia, pendeknya nyaman dalam segala hal. Kriteria calon pasangan hidup pun dibuat begitu detail. “Cantik dalam pandangan umum,” begitu tulis salah seorang ikhwan dalam proposal nikahnya.

Sungguh ada perasaan kagum yang luar biasa pada seseorang yang memutuskan memilih pasangan hidup yang “biasa saja”, walaupun jika ia mau, sebenarnya akan dengan mudah memiliki yang lebih dari itu. Bisa saja al akh itu memilih wanita yang lebih cantik, lebih muda, lebih pintar, lebih terpandang dalam latar belakang dan status sosial, tetapi ia tidak melakukannya.

Ada juga al akh yang bersedia menerima seseorang yang jauh “berbeda” dengan dirinya. Sangat tidak sekufu, begitu istilahnya. Semuanya ia lakukan untuk kepentingan dakwah dan dalam rangka mempersembahkan pengabdian terbaik pada Rabbnya.

Ada al akh berpenampilan fisik yang sangat jamil menikah dengan al ukh yang berusia beberapa tahun di atasnya. Wanita itu berpenampilan fisik biasa saja, berpendidikan di bawahnya dan dalam beberapa hal lain juga di bawah sang suami.

Ada juga al akh yang berpendidikan cukup tinggi dari sebuah perguruan tinggi ternama dengan jaminan pekerjaan yang pasti, bersedia menikah dengan al ukh asisten rumah tangga. Pernikahan itu langgeng dan berakhir ketika Allah memanggil salah satu dari mereka untuk menghadap-Nya.

Begitulah, banyak orang saleh menjadikan pernikahannya tak semata untuk kenyamanan pribadi saja. Mereka menikah juga untuk mendukung program dakwah dan menyelesaikan problema dakwah. Rasulullah SAW dalam pernikahan beliau juga lebih banyak untuk kemaslahatan dakwah.

Khadijah yang berusia lima belas tahun di atas Rasulullah dinikahi berdasarkan petunjuk Allah. Beliau menjadi wanita pertama yang memeluk Islam dan mendukung dakwah Nabi SAW. Saudah binti Zum’ah -janda berkulit hitam dari Sudan- dinikahi oleh Rasulullah pada saat Saudah berusia 70 tahun, demi menjaga keimanan Saudah dari gangguan kaum musyrikin. Shafiyyah binti Hayyi Aktab, wanita muslimah dari kabilah Yahudi Bani Nadhir yang memiliki 10 anak dari pernikahan sebelumnya, dinikahi Rasulullah untuk menjaga keimanan Safiyyah dari boikot orang Yahudi. Pernikahan Rasulullah dengan isteri-isteri beliau yang lain pun mengemban misi suci untuk meninggikan kalimatullah di muka bumi.

Contoh-contoh di atas terjadi belasan dan dua puluhan tahun yang lalu. Bahkan pernikahan suri teladan kita Rasulullah SAW telah terjadi berabad-abad silam. Untuk masa sekarang kondisinya sudah sangat berbeda. Para murrabi atau murrabiyah yang biasanya berperan dalam proses perjodohan umumnya cukup detail memperhatikan berbagai faktor. Tak hanya tingkat kesekufuan, malahan suku, asal daerah, daerah tempat bekerja, bahkan sifat, hobby, amanah, aktivitas, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya cukup mendapat perhatian. Meski begitu, kegagalan proses malah tidak jarang terjadi.

Hal- hal yang harus senantiasa kita ingat termasuk dalam menjemput jodoh adalah bahwa manusia tiada yang sempurna. Semua orang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mungkin kelebihan atau kekurangan itu tak selalu bisa terlihat oleh mata telanjang kita. Mungkin Si X tidak melanjutkan proses dengan Si A dan memilih menikah dengan Si B. Ia mungkin merasa lebih cocok dengan Si B. Menurutnya ada kelebihan Si B atas Si A, tetapi tentu saja Si A pun memiliki kelebihan yang tidak dimiliki Si B.

Dalam kehidupan dunia ini, kita adalah pemain-pemain peran yang akan mendapatkan penilaian atas setiap peran yang kita mainkan dari Sang Juri Yang Mahaadil. Kita harus senantiasa menanamkan dalam diri masing-masing untuk selalu berusaha memainkan setiap peran dalam berbagai kesempatan dengan sebaik-baiknya. Harapan kita adalah selalu mendapat penilaian tertinggi dari Allah SWT. Salah satu peran penting dalam kehidupan kita di alam fana ini adalah proses menjemput jodoh.

Mengutamakan Allah dalam proses menjemput jodoh, sama sekali bukan berarti tidak boleh tidak melanjutkan proses taaruf atas calon yang ditawarkan. Jika pun ada keberatan, alangkah baiknya kalau hal itu bukan karena hawa nafsu dan pertimbangan duniawi semata. Kita harus mengutamakan sesuatu yang Allah pilihkan melalui istikharah. Kita pun tak sepantasnya hanya mementingkan kenyamanan pribadi, tetapi akan sangat mulia kalau turut memikirkan kemaslahatan dakwah. Rasulullah pernah mengingatkan kita dalam memilih pasangan,“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta/tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang saleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” (HR Ibnu Majah).

Jodoh adalah rahasia Allah dan mutlak di tangan-Nya. Manusia memang hanya bisa berdoa dan berikhtiar untuk menjemputnya. Jika kita mengutamakan Allah dalam seluruh aspek kehidupan kita, termasuk dalam proses menjemput jodoh, maka yakinlah bahwa Allah akan senantiasa bersama kita. Allah akan menganugerahi rasa cinta yang dalam pada pasangan, memberikan kemudahan dan keberkahan dalam pernikahan kita. Pun kemudahan dan keberkahan dalam hidup kita yang dipenuhi cinta, kasih sayang, dan keridhaan Sang Penguasa Jagat Raya, Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga…

Wallahualam bishawab

*** http://www.fimadani.com/memilih-jodoh-dunia-akhirat/

Selasa, Juni 14, 2011

Melepas Perginya


Hari ini tepat dua tahun meninggalnya Mas Muslih, suami yang sangat aku cintai. Sungguh, tak kuduga sebelumnya jika secepat itu beliau ditakdirkan Allah meninggalkan kami untuk selama-lamanya 

Malam sebelumnya,  aku terbangun dari tidur ketika pintu diketok. Sekitar jam 12.00 malam, Mas Muslih pulang dari rapat pengurus RW. Segera aku siapkan makanan dan minuman untuk beliau. Kebetulan ba’da Isya tadi ada teman yang mengantar aqiqah anaknya. Beliau belum makan. “Mas, maafin aku ngantuk banget ga bisa nemenin, barusan aja bisa tidur. Tadi Farras rewel”, kataku mencari pemakluman. Beliau mempersilakan aku kembali istirahat. Beliau makan sendirian. Kini kalau mengingatnya aku sering menyesal. Aku tentu  tak tahu , malam itu adalah malam terakhirku bersama suami.

Aku memang agak capek. Sabtu pagi hingga sore, aku pergi seharian. Pagi ada acara ibu-ibu Jurtim, siangnya ngaji hingga sore. Pas pulang, anak-anak dan Mbaknya sedang bermain di rumah tetangga. Alhamdulillah, sore itu aku bisa menemani Mas Muslih berdua saja hingga Maghrib tiba. Sesudahnya aku kembali mengurus anak-anak, menyuapi makan, menemani tidur sambil mendongeng. Nabilah sebelum masuk SD, memang suka dongeng. Ia suka dongeng ciptaan uminya sendiri. Dongeng pengantar tidur untuknya bisa dua hingga lima cerita, sampai ia tertidur.

Mas Muslih di hari- hari terakhir menjelang kepulangannya, amat rajin bangun malam tanpa ada yang membangunkan. Satu hal yang sebenarnya menjadi tanda tanya dalam hatiku saat itu. Biasanya memang beliau juga bangun malam, agak mendekati Subuh tetapi masih ada sedikit waktu untuk qiyamul lail. Jarang bangun sendiri, seringnya dibangunkan, kadang dengan sedikit paksaan halus. Malam itu, belum lama beliau beristirahat tiba- tiba segera bangun. Bergegas beliau membersihkan badan. Lalu menjalankan qiyamul lail dengan lama. Sepertinya khusyu sekali.

Paginya setelah dzikir dan tilawah, beliau bermain dengan anak laki-laki kami yang saat itu berusia dua tahun. Suatu hal yang menyenangkan dan menggembirakan Farras adalah bermain bola di masjid bersama abi. Saat itu, aku dan mbaknya memasak di dapur. Tak lama, Nabilah yang suka dan terbiasa jalan-jalan pagi naik motor, mulai mengajakku jalan-jalan. Mas Muslih yang baru pulang menemani Farras , ikut bergabung. Sebenarnya aku sudah mempersilakan beliau istirahat saja. Aku kasihan semalam beliau hanya tidur sebentar sekali, tak sampai dua jam. Beliau menolak. Akhirnya kami jalan-jalan berempat naik sepeda motor. Sepanjang jalan beliau menunjukkan rasa sayang yang amat pada kami. Juga pada teman-temannya. Beliau menceritakan dan mengenang kebaikan orang-orang di sekitarnya. 

Hari itu ada acara di Cilegon. Aku menurut saja ketika beliau mengatakan agar aku tak usah ikut acara kali ini. “Kasihan anak-anak ditinggal-tinggal Mi,” ucapnya lembut. Beliau memang tahu, aku paling tidak bisa dan akan merasa bersalah jika meninggalkan anak-anak terlalu lama. Lagipula, hari itu aku memang agak pusing. Sore harinya aku juga sudah ada jadwal bersama teman-teman. 

Setelah shalat Dhuha, beliau pergi. Semula beliau minta diantar saja sampai lokasi tempat berkumpul teman-temannya. Aku benar-benar heran, tak biasanya beliau begitu. Kami ada dua motor, jadi tidak masalah jika satu motor dibawa pergi. Setelah ngobrol dan sedikit menyatakan keherananku, akhirnya beliau pergi membawa motor sendiri. Hal yang tak biasa juga, kunci motor itu dititipkan temannya yang rumahnya tak jauh dari lokasi berkumpul. Biasanya jika bepergian, kunci itu tetap dibawanya sendiri.

Shalat Dzuhurku siang itu penuh linangan air mata. Entahlah, saat itu aku begitu melankolis dan merasakan sayang yang amat dalam pada anak-anak dan suami. Nabilah pun yang  biasanya menjadi bahan ujian kesabaranku, hari itu begitu manis bersikap.

Setelah shalat, aku sempat beberapa saat membuka layar komputer. Tak lama, ada telepon bergantian dari teman-teman. Mereka menginformasikan bahwa ada sebuah mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan. Aku diminta mencari informasi seputar mobil yang kecelakaan itu plus kabar suami. Lalu kucoba beberapa kali menelepon nomor suami. Tak ada jawaban, nomornya tak aktif. Perasaanku tak karuan, terasa lemas tak berdaya. Aku jadi menduga sesuatu telah terjadi pada suamiku. Aku masih berharap bahwa semua ini tidak benar. Mereka tak satupun ada yang mengatakan dengan pasti apa yang terjadi pada suamiku. Aku masih berharap, bahwa kesimpulanku ini salah. Sungguh aku masih berharap  bahwa semua ini tidak benar. Hingga beberapa teman datang. Kursi dan tenda pun dipasang. Satu demi satu teman-teman dan tetangga lain pun berdatangan sambil memelukku.
Tak sanggup lagi diri ini berucap. Ya Allah…

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Satu peristiwa mengejutkan yang tiada kuduga  sebelumnya,   telah terjadi.   Kecelakaan tunggal itu, telah mengantarkan suamiku berpulang menghadap-Nya.   Luluh lantak hati dan perasaanku kala itu.  Aku masih berharap ini hanya sebuah mimpi buruk . Tapi ini nyata. Jiwaku terasa pedih dan air mata terus mengalir.

Aku berusaha menguatkan diri. Alhamdulillah aku  masih bisa menemui para tamu. Lalu aku juga  menelepon mertua dan saudara-saudara.  Mertuaku meminta jenazah anak kesayangannya itu dimakamkan di kampung. Aku menurut saja. Sambil menunggu jenazah tiba, Mbak membantuku menyiapkan pakaian dan barang-barang untuk pulang kampung. 

Atas inisiatif sendiri, tetangga dan sahabat-sahabat bergerak membantuku. Semuanya mereka yang menangani. Aku malah tak tahu apa-apa sama sekali. Banyak sekali yang datang menyatakan bela sungkawa dan menguatkanku. Hampir semua orang yang datang kulihat turut mencucurkan air mata. 

Jenazah baru tiba menjelang Maghrib dan dishalatkan setelah shalat Maghrib. Allah menakdirkan, almarhum suami dishalatkan oleh banyak sekali  orang. Saat itu Masjid Ar Ridho yang luas,  dipenuhi para pentakziah.

Ba’da Maghrib, jenazah diberangkatkan menuju Purbalingga. Banyak  sekali orang yang turut mengantarkan jenazah almarhum ke kampung halaman, yang tentunya merelakan esok harinya harus membolos kerja. Banyak juga tetangga dan teman  yang meminjamkan mobil untuk mengantar para pentakziah.  Kepedulian saudara, sahabat , dan tetangga yang luar biasa sungguh menguatkan jiwa.


Sepanjang  jalan,   aku  tak bisa tidur. Rasanya  masih belum percaya dan masih berharap bahwa semua ini hanya mimpi  Air mata terus saja mengalir. Aku  amat mencintai suamiku.  Lalu bertanya pada diri, mampukah aku hidup di dunia ini tanpanya lagi. Suami dan ayah yang luar biasa baik bagi kami. Sosok yang tak pernah tergantikan dalam hidupku, dalam ruang hatiku.

Kini dan selamanya, aku selalu memohon pada-Nya agar Allah mengaruniai kebahagian pada suamiku di alam sana. Pun kebahagiaan pada kami di sini. Di dunia ini hingga akhirat nanti. Semoga...


*


Catatan panjang ini dibuat sebagai prasasti, spesial ditujukan untuk anak-anak kami : Nabilah & Farras. Suatu saat nanti, insya Allah dan semoga mereka akan mengerti dan memahami dengan sangat.