Selasa, Juni 14, 2011

Melepas Perginya


Hari ini tepat dua tahun meninggalnya Mas Muslih, suami yang sangat aku cintai. Sungguh, tak kuduga sebelumnya jika secepat itu beliau ditakdirkan Allah meninggalkan kami untuk selama-lamanya 

Malam sebelumnya,  aku terbangun dari tidur ketika pintu diketok. Sekitar jam 12.00 malam, Mas Muslih pulang dari rapat pengurus RW. Segera aku siapkan makanan dan minuman untuk beliau. Kebetulan ba’da Isya tadi ada teman yang mengantar aqiqah anaknya. Beliau belum makan. “Mas, maafin aku ngantuk banget ga bisa nemenin, barusan aja bisa tidur. Tadi Farras rewel”, kataku mencari pemakluman. Beliau mempersilakan aku kembali istirahat. Beliau makan sendirian. Kini kalau mengingatnya aku sering menyesal. Aku tentu  tak tahu , malam itu adalah malam terakhirku bersama suami.

Aku memang agak capek. Sabtu pagi hingga sore, aku pergi seharian. Pagi ada acara ibu-ibu Jurtim, siangnya ngaji hingga sore. Pas pulang, anak-anak dan Mbaknya sedang bermain di rumah tetangga. Alhamdulillah, sore itu aku bisa menemani Mas Muslih berdua saja hingga Maghrib tiba. Sesudahnya aku kembali mengurus anak-anak, menyuapi makan, menemani tidur sambil mendongeng. Nabilah sebelum masuk SD, memang suka dongeng. Ia suka dongeng ciptaan uminya sendiri. Dongeng pengantar tidur untuknya bisa dua hingga lima cerita, sampai ia tertidur.

Mas Muslih di hari- hari terakhir menjelang kepulangannya, amat rajin bangun malam tanpa ada yang membangunkan. Satu hal yang sebenarnya menjadi tanda tanya dalam hatiku saat itu. Biasanya memang beliau juga bangun malam, agak mendekati Subuh tetapi masih ada sedikit waktu untuk qiyamul lail. Jarang bangun sendiri, seringnya dibangunkan, kadang dengan sedikit paksaan halus. Malam itu, belum lama beliau beristirahat tiba- tiba segera bangun. Bergegas beliau membersihkan badan. Lalu menjalankan qiyamul lail dengan lama. Sepertinya khusyu sekali.

Paginya setelah dzikir dan tilawah, beliau bermain dengan anak laki-laki kami yang saat itu berusia dua tahun. Suatu hal yang menyenangkan dan menggembirakan Farras adalah bermain bola di masjid bersama abi. Saat itu, aku dan mbaknya memasak di dapur. Tak lama, Nabilah yang suka dan terbiasa jalan-jalan pagi naik motor, mulai mengajakku jalan-jalan. Mas Muslih yang baru pulang menemani Farras , ikut bergabung. Sebenarnya aku sudah mempersilakan beliau istirahat saja. Aku kasihan semalam beliau hanya tidur sebentar sekali, tak sampai dua jam. Beliau menolak. Akhirnya kami jalan-jalan berempat naik sepeda motor. Sepanjang jalan beliau menunjukkan rasa sayang yang amat pada kami. Juga pada teman-temannya. Beliau menceritakan dan mengenang kebaikan orang-orang di sekitarnya. 

Hari itu ada acara di Cilegon. Aku menurut saja ketika beliau mengatakan agar aku tak usah ikut acara kali ini. “Kasihan anak-anak ditinggal-tinggal Mi,” ucapnya lembut. Beliau memang tahu, aku paling tidak bisa dan akan merasa bersalah jika meninggalkan anak-anak terlalu lama. Lagipula, hari itu aku memang agak pusing. Sore harinya aku juga sudah ada jadwal bersama teman-teman. 

Setelah shalat Dhuha, beliau pergi. Semula beliau minta diantar saja sampai lokasi tempat berkumpul teman-temannya. Aku benar-benar heran, tak biasanya beliau begitu. Kami ada dua motor, jadi tidak masalah jika satu motor dibawa pergi. Setelah ngobrol dan sedikit menyatakan keherananku, akhirnya beliau pergi membawa motor sendiri. Hal yang tak biasa juga, kunci motor itu dititipkan temannya yang rumahnya tak jauh dari lokasi berkumpul. Biasanya jika bepergian, kunci itu tetap dibawanya sendiri.

Shalat Dzuhurku siang itu penuh linangan air mata. Entahlah, saat itu aku begitu melankolis dan merasakan sayang yang amat dalam pada anak-anak dan suami. Nabilah pun yang  biasanya menjadi bahan ujian kesabaranku, hari itu begitu manis bersikap.

Setelah shalat, aku sempat beberapa saat membuka layar komputer. Tak lama, ada telepon bergantian dari teman-teman. Mereka menginformasikan bahwa ada sebuah mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan. Aku diminta mencari informasi seputar mobil yang kecelakaan itu plus kabar suami. Lalu kucoba beberapa kali menelepon nomor suami. Tak ada jawaban, nomornya tak aktif. Perasaanku tak karuan, terasa lemas tak berdaya. Aku jadi menduga sesuatu telah terjadi pada suamiku. Aku masih berharap bahwa semua ini tidak benar. Mereka tak satupun ada yang mengatakan dengan pasti apa yang terjadi pada suamiku. Aku masih berharap, bahwa kesimpulanku ini salah. Sungguh aku masih berharap  bahwa semua ini tidak benar. Hingga beberapa teman datang. Kursi dan tenda pun dipasang. Satu demi satu teman-teman dan tetangga lain pun berdatangan sambil memelukku.
Tak sanggup lagi diri ini berucap. Ya Allah…

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Satu peristiwa mengejutkan yang tiada kuduga  sebelumnya,   telah terjadi.   Kecelakaan tunggal itu, telah mengantarkan suamiku berpulang menghadap-Nya.   Luluh lantak hati dan perasaanku kala itu.  Aku masih berharap ini hanya sebuah mimpi buruk . Tapi ini nyata. Jiwaku terasa pedih dan air mata terus mengalir.

Aku berusaha menguatkan diri. Alhamdulillah aku  masih bisa menemui para tamu. Lalu aku juga  menelepon mertua dan saudara-saudara.  Mertuaku meminta jenazah anak kesayangannya itu dimakamkan di kampung. Aku menurut saja. Sambil menunggu jenazah tiba, Mbak membantuku menyiapkan pakaian dan barang-barang untuk pulang kampung. 

Atas inisiatif sendiri, tetangga dan sahabat-sahabat bergerak membantuku. Semuanya mereka yang menangani. Aku malah tak tahu apa-apa sama sekali. Banyak sekali yang datang menyatakan bela sungkawa dan menguatkanku. Hampir semua orang yang datang kulihat turut mencucurkan air mata. 

Jenazah baru tiba menjelang Maghrib dan dishalatkan setelah shalat Maghrib. Allah menakdirkan, almarhum suami dishalatkan oleh banyak sekali  orang. Saat itu Masjid Ar Ridho yang luas,  dipenuhi para pentakziah.

Ba’da Maghrib, jenazah diberangkatkan menuju Purbalingga. Banyak  sekali orang yang turut mengantarkan jenazah almarhum ke kampung halaman, yang tentunya merelakan esok harinya harus membolos kerja. Banyak juga tetangga dan teman  yang meminjamkan mobil untuk mengantar para pentakziah.  Kepedulian saudara, sahabat , dan tetangga yang luar biasa sungguh menguatkan jiwa.


Sepanjang  jalan,   aku  tak bisa tidur. Rasanya  masih belum percaya dan masih berharap bahwa semua ini hanya mimpi  Air mata terus saja mengalir. Aku  amat mencintai suamiku.  Lalu bertanya pada diri, mampukah aku hidup di dunia ini tanpanya lagi. Suami dan ayah yang luar biasa baik bagi kami. Sosok yang tak pernah tergantikan dalam hidupku, dalam ruang hatiku.

Kini dan selamanya, aku selalu memohon pada-Nya agar Allah mengaruniai kebahagian pada suamiku di alam sana. Pun kebahagiaan pada kami di sini. Di dunia ini hingga akhirat nanti. Semoga...


*


Catatan panjang ini dibuat sebagai prasasti, spesial ditujukan untuk anak-anak kami : Nabilah & Farras. Suatu saat nanti, insya Allah dan semoga mereka akan mengerti dan memahami dengan sangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar