Senin, Februari 22, 2016

Menguatkan Jiwa, Mendamba Surga

Waktu masih SMP, saya seringkali bangun di atas jam 5 pagi. Hanya sekali-kali saja bangun Subuh atau sebelum Subuh. Itupun biasanya kalau sedang ada maunya. Mau belajar atau mau shalat tahajud agar ranking, nilai rapor atau NEM sesuai target. Sebuah keinginan yang sederhana sekali.

Ibu saya terbiasa bangun sekitar jam 3, lalu ke dapur menyiapkan makanan. Sebenarnya Ibu mungkin menginginkan anak-anak bangun pagi. Lantas berulangkali beliau memberi wejangan,"Wong wadon iku tangine kudu esok. Ora ilok tangi awan-awan. Mengko nek wis duwe bojo, kudu tangi luwih esok tinimbang bojone. Apa meneh yen neng nggone maratua .." ( Perempuan itu harus bangun pagi, tidak pantas bangun siang-siang. Nanti kalau sudah bersuami, harus bangun lebih dulu daripada suaminya. Apalagi kalau di tempat mertua...)

Wejangan itu hanya saya dengarkan saja, tetapi belum mengubah kebiasaan saya. Semua baru berubah ketika SMA, saat jauh dari rumah dan tinggal di kost. Saya ditakdirkan satu kos dengan kakak-kakak kelas yang rajin belajar. Jam 2 pagi sebagian sudah ada yang bangun, dan sekitar jam 3 sudah tidak ada yang masih tidur. Semua kompak bangun pagi, sholat tahajud dan belajar sambil menunggu datangnya Subuh. Setelah Subuh, acara belajar kembali dilanjutkan sampai berangkat sekolah. Begitulah rutinitas sehari-hari di kost kami waktu SMA. Alah bisa karena biasa, demikian sebuah peribahasa mengatakan.



Dulu bangun pagi untuk tujuan-tujuan yang sangat sederhana, sesuai usia dan problema hidup yang dihadapi saat itu. Seiring berjalannya waktu, amanah dan problematika hidup setiap orang makin bertambah. Ada pasangan, anak-anak, dan hal-hal lain yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin tinggi amanah yang diemban, pertanggungjawaban dunia akhirat juga semakin berat. Maka bangun pagi untuk mendekatkan diri kepada Allah, seharusnya menjadi sebuah kebutuhan jiwa yang utama. Dengannya kita menjadi kuat, kokoh, tak gampang rapuh. Masalah- masalah besar, sesungguhnya akan terasa kecil karena kita memiliki Allah Yang Maha Besar, Mahakuasa, dan Mahasegalanya. Maka mendekatkan diri pada Allah adalah sebuah keniscayaan, terlebih pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat itu, Allah turun ke langit dunia, ketika ada yang berdoa akan dikabulkan, ketika ada yang meminta akan diberi, dan ketika ada yang memohon ampunan akan diampuni.

Bagi orang yang memahami hakikat kehidupan, maka apa yang dipikirkan tentu saja tak melulu tentang dunia yang fana. Akhirat yang kekal abadi, seharusnya menjadi prioritas. Iya berapapun usia kita, seharusnya sudah berpikir ke arah sana. Tiada seorang pun yang mengetahui dengan pasti, kapan Allah memanggil untuk kembali menghadap-Nya. Rasulullah SAW yang sudah dijamin masuk surga pun, istiqamah menjalankan qiyamul lail. Semua itu sebagai perwujudan abdan syakuro. Lantas bagaimana seharusnya dengan kita yang belum jelas nasibnya di akhirat nanti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar