Catatan Sebuah Perjalanan
Sabtu, Desember 31, 2016
Selasa, Juni 14, 2016
Istirahatkan Kami dengan Shalat
Masjid Arridho, selepas Subuh. Ibu-ibu saling berjabat tangan
seusai acara kultum. Saya pun menjabat dan mencium tangan seorang ibu
cantik di sebelah saya. Sebut saja namanya Bu Ayi (bukan nama
sebenarnya). Usia beliau sekitar belasan tahun di atas saya.
Kami berbincang sejenak. Bu Ayi bercerita dan menyampaikan keinginan untuk mengirim paket ifthar ke masjid. Setelahnya, saya berbicara tentang hal lain. Dengan berusaha hati-hati, saya menanyakan kabar kesehatan putri beliau. Beberapa tahun lalu, salah satu putri beliau yang saat itu belum lama menikah, sakit. Saya kurang tahu tentang sakitnya, yang saya ingat seluruh badannya tiba-tiba lumpuh. Sebuah ujian yang tak ringan, terlebih bagi hati seorang ibu.
Kami berbincang sejenak. Bu Ayi bercerita dan menyampaikan keinginan untuk mengirim paket ifthar ke masjid. Setelahnya, saya berbicara tentang hal lain. Dengan berusaha hati-hati, saya menanyakan kabar kesehatan putri beliau. Beberapa tahun lalu, salah satu putri beliau yang saat itu belum lama menikah, sakit. Saya kurang tahu tentang sakitnya, yang saya ingat seluruh badannya tiba-tiba lumpuh. Sebuah ujian yang tak ringan, terlebih bagi hati seorang ibu.
"Alhamdulillah sudah jauh lebih baik. Sudah bisa mandi sendiri, makan
sendiri. Ujian Bu, sabar dan syukur saja," kata beliau sambil
tersenyum. Sebuah senyuman manis yang memancarkan keikhlasan.
Saya membatin. Kata-kata beliau pas sekali dengan isi kultum Subuh yang baru saja disampaikan. Orang-orang menganggap shalat, shaum, zakat, dan hal lainnya, itu bisa dengan sisi hati yang berbeda. Ada yang melihatnya sebagai sebuah kenikmatan, pun ada yang menganggapnya sebagai beban. Semua tergantung keimanan, tergantung akidah. Akidah itu ibarat pondasi sebuah bangunan. Jika pondasinya kuat, bangunan pun akan kokoh. Tak mudah roboh, bahkan ketika ada gempa dahsyat sekalipun. Bagi seorang mukmin, apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik. Pun shalat adalah sebuah istirahat yang sangat nyaman, penuh ketenangan, ketentraman, dan kenikmatan. Rasulullah bersabda, "Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat."
*Catatan hari ke-4 Ramadhan 1437
Postingan FB 9 Juni 2016
Saya membatin. Kata-kata beliau pas sekali dengan isi kultum Subuh yang baru saja disampaikan. Orang-orang menganggap shalat, shaum, zakat, dan hal lainnya, itu bisa dengan sisi hati yang berbeda. Ada yang melihatnya sebagai sebuah kenikmatan, pun ada yang menganggapnya sebagai beban. Semua tergantung keimanan, tergantung akidah. Akidah itu ibarat pondasi sebuah bangunan. Jika pondasinya kuat, bangunan pun akan kokoh. Tak mudah roboh, bahkan ketika ada gempa dahsyat sekalipun. Bagi seorang mukmin, apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik. Pun shalat adalah sebuah istirahat yang sangat nyaman, penuh ketenangan, ketentraman, dan kenikmatan. Rasulullah bersabda, "Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat."
*Catatan hari ke-4 Ramadhan 1437
Postingan FB 9 Juni 2016
Yuk Rukun
Belum lama ini seorang teman memberi info mengenai pendapat
seorang tokoh terkenal, tentang paham dan gerakan yang membahayakan
Pancasila dan bangsa Indonesia. Teman saya ini seorang yang hanif.
Mungkin maksud beliau menginfokan itu, ingin minta pendapat saya (yang
menurut beliau, saya orang PKS).
Saya sebenarnya lebih tertarik memikirkan issu-issu dan peristiwa- peristiwa mengenaskan yang terjadi di negara ini. Tapi tidak apalah, saya ikut berkomentar atas pendapat tersebut.
Saya rasa akan sangat bagus jika seluruh kelompok muslim sunni itu menyatukan pandangan bersama, mengesampingkan perbedaan, lalu membuat langkah bersama untuk memajukan rakyat dan negara ini. Tidak ada saling menjelekkan, yang dampaknya justru kontra produktif terhadap kebaikan umat Islam. Selama ini meski mayoritas, penduduk pribumi dan kaum muslim itu terpinggirkan dalam banyak hal. Kalau dalam kondisi seperti itu saja tetap tidak mau akur, kapan nasib kaum terpinggirkan itu akan berubah menjadi lebih baik?
Saya sepakat Pancasila dan UUD 1945, sebagai dasar dan landasan negara. Meski begitu, saya sangat tidak setuju jika membuatnya seolah-olah sesuatu yang keramat. Apalagi jika hal itu dipakai untuk melabeli orang- orang yang berbeda dalam kebijakan dan langkah perjuangan. Jika orang yang berbeda kebijakan tersebut berada dalam kebenaran, mencintai rakyat dan negara ini dengan tulus, tidak melanggar Undang-undang, dan mengikuti aturan bersama, adakah yang salah? Menurut saya, seharusnya orang yang dicap membahayakan Pancasila dan bangsa Indonesia adalah para 'penjual negara', orang-orang yang menzalimi rakyat, koruptor, pembunuh, pemerkosa, dan pelaku tindak biadab lainnya.
*Dibuang sayang, maka jawabannya saya posting di FB juga deh...
Postingan FB 19 Mei 2016
Saya sebenarnya lebih tertarik memikirkan issu-issu dan peristiwa- peristiwa mengenaskan yang terjadi di negara ini. Tapi tidak apalah, saya ikut berkomentar atas pendapat tersebut.
Saya rasa akan sangat bagus jika seluruh kelompok muslim sunni itu menyatukan pandangan bersama, mengesampingkan perbedaan, lalu membuat langkah bersama untuk memajukan rakyat dan negara ini. Tidak ada saling menjelekkan, yang dampaknya justru kontra produktif terhadap kebaikan umat Islam. Selama ini meski mayoritas, penduduk pribumi dan kaum muslim itu terpinggirkan dalam banyak hal. Kalau dalam kondisi seperti itu saja tetap tidak mau akur, kapan nasib kaum terpinggirkan itu akan berubah menjadi lebih baik?
Saya sepakat Pancasila dan UUD 1945, sebagai dasar dan landasan negara. Meski begitu, saya sangat tidak setuju jika membuatnya seolah-olah sesuatu yang keramat. Apalagi jika hal itu dipakai untuk melabeli orang- orang yang berbeda dalam kebijakan dan langkah perjuangan. Jika orang yang berbeda kebijakan tersebut berada dalam kebenaran, mencintai rakyat dan negara ini dengan tulus, tidak melanggar Undang-undang, dan mengikuti aturan bersama, adakah yang salah? Menurut saya, seharusnya orang yang dicap membahayakan Pancasila dan bangsa Indonesia adalah para 'penjual negara', orang-orang yang menzalimi rakyat, koruptor, pembunuh, pemerkosa, dan pelaku tindak biadab lainnya.
*Dibuang sayang, maka jawabannya saya posting di FB juga deh...
Postingan FB 19 Mei 2016
Jumat, Mei 13, 2016
Air Mata Cinta
Kemarin sore ada acara pemberian motivasi USBD plus doa bersama
untuk anak-anak kelas 6 SD Islam Plus Baitul Maal. Acaranya bagus
banget. Bukan hanya tentang menghadapi USBD, ada juga materi yang
secara garis besar memotivasi anak untuk menjadi anak yang berkualitas
dunia akhirat.
Pemateri juga menyelipkan muhasabah di akhir acara. Isi muhasabah terutama bertema tentang hubungan anak dan ortu. Menyentuh hati, mengharu biru, membuat kami menangis. Apalagi hari itu anak-anak dan para orang tua disarankan dalam kondisi shaum, yang tentu saja makin melembutkan hati.
Pemateri juga menyelipkan muhasabah di akhir acara. Isi muhasabah terutama bertema tentang hubungan anak dan ortu. Menyentuh hati, mengharu biru, membuat kami menangis. Apalagi hari itu anak-anak dan para orang tua disarankan dalam kondisi shaum, yang tentu saja makin melembutkan hati.
Anak-anak pun diminta menemui ortu masing-masing sesudahnya. Nabilah
menemui saya dengan mata sembab dan lelehan air mata yang deras. Lalu
kami berpelukan. Anak itu menangis di pangkuan saya, yang juga tak bisa
menahan derasnya kucuran air mata. Iya, air mata cinta, air mata kasih
sayang, air mata keharuan, yang di dalamnya mengalir kebahagiaan karena
cinta. Cinta antara orangtua pada anaknya, pun sebaliknya.
***
Makasih Bapak Ibu guru
Makasih SDIP BM
***
Makasih Bapak Ibu guru
Makasih SDIP BM
Jumat, Mei 06, 2016
Surat Cinta untuk Nabilah
Alhamdulillahi robbil’alamiin. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan karunia nikmat kepada kita. Shalawat dan salam untuk Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat, dan orang-orang mukmin yang istiqamah di jalan-Nya.
Anakku sayang Nabilah Nur Azizah...
Ini ada sedikit tanda sayang Ummi untukmu. Nilai rupiah barang- barang ini tak seberapa, tapi di dalamnya ada nilai cinta dan sayang Ummi yang tak ternilai harganya. Tak kan bisa terhitung Nak...Kau dan adikmu adalah kekayaan Ummi yang tak ternilai harganya. Kalian tak hanya menjadi pembawa kebahagiaan Ummi dan Abi di dunia yang sementara ini, tapi yang lebih penting adalah kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Kau tentu tahu bahwa salah satu amal yang tak kan pernah putus meski orang itu telah meninggal adalah doa anak-anak sholih sholihah.
Sayang, untuk itu Ummi selalu berharap kau menjadi anak sholihah. Anak yang senantiasa taat pada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Semua itu agar Allah sayang padamu, menjagamu, membimbingmu, dan memberikan semua yang terbaik untukmu. Percayalah anakku sayang, menjadi orang yang disayangi Allah adalah kebahagiaan yang luar biasa. Tiada kebahagiaan sejati yang melebihi kebahagiaan itu.
Jilbab dan buku sederhana ini semoga bermanfaat untukmu. Ummi berharap, engkau istiqomah dalam jilbabmu. Tentu tak hanya jilbab yang selalu engkau jaga, tapi juga apa yang ada di dalamnya, yang ada di dalam hatimu, juga perilakumu. Peliharalah selalu keluhuran akhlak budi, agar engkau dicintai penduduk langit dan bumi. Dan tetaplah seperti itu, hingga akhir hayatmu.
Esok tanggal 7 Mei 2016, kau pun genap 12 tahun. Semoga engkau bertambah dewasa, makin sayang Ummi Abi, Adik, dan sayang semuanya. Pun yang utama lagi adalah makin taat pada Allah, makin sholihah, selalu bangun pagi sebelum Subuh, membaca, menghafal, dan mentadabburri Al Qur'an. Juga makin giat belajar untuk dunia akhiratmu.
Anakku sayang, cinta dan doa Ummi akan senantiasa menyertai langkahmu.
Love U so much,
Ummi
***
Hari ini Wisuda Al Qur'an untuk anak-anak Sekolah BM. Nah,
para ortu diminta ngasi hadiah untuk anaknya yang diwisuda. Saya memberi hadiah
yang tak seberapa, disertai sebuah surat cinta. Surat berisi pesan-pesan
sederhana yang saya tulis dengan penuh perasaan dini hari tadi. Saya pun
sengaja memberikannya dalam bentuk tulisan tangan. Bukan hanya hadiah wisuda Al
Qur'an, tapi juga hadiah untuknya yang esok hari genap 12 tahun menapaki bumi
ini. Barokallahu fii umrik Sayang :)
Selasa, Maret 08, 2016
Nostalgia TV, Nostalgia Masa Kecil
Salah satu grup WA, malam ini lagi ramai ngobrolin film-film di tipi tempo doeloe. Nyimak saja dan melelehlah air mata. Teringat Ibu saya yang membelikan kami TV dengan menjual perhiasan emas, seingat saya 19 gram. Sebuah TV hitam putih yang ada almarinya. Bisa dikunci.
Saat itu tahun 1984, kelas 6 SD. Listrik baru menyala di kampung kami. Ibu semula tidak mau membeli TV karena memang tidak ada anggaran, tidak punya uang. Semua terjadi atas desakan kami. Akhirnya Ibu bersedia membeli, tetapi dengan perjanjian hanya boleh menonton malam Ahad sampai dengan Ahad sore.
Saya sendiri nyaris tak pernah nonton TV kecuali Ahad siang. Saya lebih
memilih menemani Mbah Lurah putri, tidur di rumah beliau yang tak ada
TV. Saya senang karena Mbah lurah putri memberi uang dan makanan
kecil ketika saya menginap menemani beliau. Lumayan, bisa buat uang
jajan atau fotokopi. Ibu saya memang tidak pernah memberi kami uang
jajan, tetapi setiap hari memasak termasuk membuat makanan jajanan
untuk anak-anak. Ibu bersikap demikian karena sebuah prinsip dan juga
didukung keterbatasan finansial keluarga kami.
Mbah lurah putri, beliau dipanggil demikian karena suami beliau semasa hidup adalah seorang kepala desa. Mbah lurah kakung meninggal ketika saya kelas 3 SD, beliau adik kandung mbah kakung saya. Mbah kakung saya meninggal ketika Ibu masih balita. Dulu mbah kakung bekerja sebagai helep (ulu-ulu) atau namanya kemudian kaur pengairan desa, sedangkan mbah lurah dulu seorang carik atau sekretaris desa. Gaji kepala desa dan pamong praja di kampung kami adalah sawah sanggan desa, yang bisa digarap selama menjabat. Saat meninggal, mbah lurah kakung sudah puluhan tahun menjadi kepala desa. Pada masa itu, jabatan kepala desa memang sampai seumur hidup. Meski begitu, kehidupan beliau sederhana, walaupun kampung kami subur makmur, gemah ripah loh jinawi.
Ah kenangan masa kecil tak kan pernah terlupa. Semua menjadi pelajaran berharga, yang bisa menjadi cerita untuk anak cucu kita.
***
Duhai Ibu, maafkan kami. Cinta dan doa kami selalu menemanimu. Smg Ibu bahagia dan mendapat kelapangan di alam sana. Allahumaghfirlaha warhamha wa'afihaa wa'fuanhaa
Mbah lurah putri, beliau dipanggil demikian karena suami beliau semasa hidup adalah seorang kepala desa. Mbah lurah kakung meninggal ketika saya kelas 3 SD, beliau adik kandung mbah kakung saya. Mbah kakung saya meninggal ketika Ibu masih balita. Dulu mbah kakung bekerja sebagai helep (ulu-ulu) atau namanya kemudian kaur pengairan desa, sedangkan mbah lurah dulu seorang carik atau sekretaris desa. Gaji kepala desa dan pamong praja di kampung kami adalah sawah sanggan desa, yang bisa digarap selama menjabat. Saat meninggal, mbah lurah kakung sudah puluhan tahun menjadi kepala desa. Pada masa itu, jabatan kepala desa memang sampai seumur hidup. Meski begitu, kehidupan beliau sederhana, walaupun kampung kami subur makmur, gemah ripah loh jinawi.
Ah kenangan masa kecil tak kan pernah terlupa. Semua menjadi pelajaran berharga, yang bisa menjadi cerita untuk anak cucu kita.
***
Duhai Ibu, maafkan kami. Cinta dan doa kami selalu menemanimu. Smg Ibu bahagia dan mendapat kelapangan di alam sana. Allahumaghfirlaha warhamha wa'afihaa wa'fuanhaa
Senin, Februari 22, 2016
Menguatkan Jiwa, Mendamba Surga
Waktu masih SMP, saya seringkali bangun di atas jam 5 pagi. Hanya
sekali-kali saja bangun Subuh atau sebelum Subuh. Itupun biasanya kalau
sedang ada maunya. Mau belajar atau mau shalat tahajud agar ranking,
nilai rapor atau NEM sesuai target. Sebuah keinginan yang sederhana
sekali.
Ibu saya terbiasa bangun sekitar jam 3, lalu ke dapur menyiapkan makanan. Sebenarnya Ibu mungkin menginginkan anak-anak bangun pagi. Lantas berulangkali beliau memberi wejangan,"Wong wadon iku tangine kudu esok. Ora ilok tangi awan-awan. Mengko nek wis duwe bojo, kudu tangi luwih esok tinimbang bojone. Apa meneh yen neng nggone maratua .." ( Perempuan itu harus bangun pagi, tidak pantas bangun siang-siang. Nanti kalau sudah bersuami, harus bangun lebih dulu daripada suaminya. Apalagi kalau di tempat mertua...)
Ibu saya terbiasa bangun sekitar jam 3, lalu ke dapur menyiapkan makanan. Sebenarnya Ibu mungkin menginginkan anak-anak bangun pagi. Lantas berulangkali beliau memberi wejangan,"Wong wadon iku tangine kudu esok. Ora ilok tangi awan-awan. Mengko nek wis duwe bojo, kudu tangi luwih esok tinimbang bojone. Apa meneh yen neng nggone maratua .." ( Perempuan itu harus bangun pagi, tidak pantas bangun siang-siang. Nanti kalau sudah bersuami, harus bangun lebih dulu daripada suaminya. Apalagi kalau di tempat mertua...)
Wejangan itu hanya saya dengarkan saja, tetapi belum mengubah kebiasaan
saya. Semua baru berubah ketika SMA, saat jauh dari rumah dan tinggal
di kost. Saya ditakdirkan satu kos dengan kakak-kakak kelas yang rajin
belajar. Jam 2 pagi sebagian sudah ada yang bangun, dan sekitar jam 3
sudah tidak ada yang masih tidur. Semua kompak bangun pagi, sholat
tahajud dan belajar sambil menunggu datangnya Subuh. Setelah Subuh,
acara belajar kembali dilanjutkan sampai berangkat sekolah. Begitulah
rutinitas sehari-hari di kost kami waktu SMA. Alah bisa karena biasa,
demikian sebuah peribahasa mengatakan.
Dulu bangun pagi untuk tujuan-tujuan yang sangat sederhana, sesuai usia dan problema hidup yang dihadapi saat itu. Seiring berjalannya waktu, amanah dan problematika hidup setiap orang makin bertambah. Ada pasangan, anak-anak, dan hal-hal lain yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin tinggi amanah yang diemban, pertanggungjawaban dunia akhirat juga semakin berat. Maka bangun pagi untuk mendekatkan diri kepada Allah, seharusnya menjadi sebuah kebutuhan jiwa yang utama. Dengannya kita menjadi kuat, kokoh, tak gampang rapuh. Masalah- masalah besar, sesungguhnya akan terasa kecil karena kita memiliki Allah Yang Maha Besar, Mahakuasa, dan Mahasegalanya. Maka mendekatkan diri pada Allah adalah sebuah keniscayaan, terlebih pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat itu, Allah turun ke langit dunia, ketika ada yang berdoa akan dikabulkan, ketika ada yang meminta akan diberi, dan ketika ada yang memohon ampunan akan diampuni.
Bagi orang yang memahami hakikat kehidupan, maka apa yang dipikirkan tentu saja tak melulu tentang dunia yang fana. Akhirat yang kekal abadi, seharusnya menjadi prioritas. Iya berapapun usia kita, seharusnya sudah berpikir ke arah sana. Tiada seorang pun yang mengetahui dengan pasti, kapan Allah memanggil untuk kembali menghadap-Nya. Rasulullah SAW yang sudah dijamin masuk surga pun, istiqamah menjalankan qiyamul lail. Semua itu sebagai perwujudan abdan syakuro. Lantas bagaimana seharusnya dengan kita yang belum jelas nasibnya di akhirat nanti?
Dulu bangun pagi untuk tujuan-tujuan yang sangat sederhana, sesuai usia dan problema hidup yang dihadapi saat itu. Seiring berjalannya waktu, amanah dan problematika hidup setiap orang makin bertambah. Ada pasangan, anak-anak, dan hal-hal lain yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin tinggi amanah yang diemban, pertanggungjawaban dunia akhirat juga semakin berat. Maka bangun pagi untuk mendekatkan diri kepada Allah, seharusnya menjadi sebuah kebutuhan jiwa yang utama. Dengannya kita menjadi kuat, kokoh, tak gampang rapuh. Masalah- masalah besar, sesungguhnya akan terasa kecil karena kita memiliki Allah Yang Maha Besar, Mahakuasa, dan Mahasegalanya. Maka mendekatkan diri pada Allah adalah sebuah keniscayaan, terlebih pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat itu, Allah turun ke langit dunia, ketika ada yang berdoa akan dikabulkan, ketika ada yang meminta akan diberi, dan ketika ada yang memohon ampunan akan diampuni.
Bagi orang yang memahami hakikat kehidupan, maka apa yang dipikirkan tentu saja tak melulu tentang dunia yang fana. Akhirat yang kekal abadi, seharusnya menjadi prioritas. Iya berapapun usia kita, seharusnya sudah berpikir ke arah sana. Tiada seorang pun yang mengetahui dengan pasti, kapan Allah memanggil untuk kembali menghadap-Nya. Rasulullah SAW yang sudah dijamin masuk surga pun, istiqamah menjalankan qiyamul lail. Semua itu sebagai perwujudan abdan syakuro. Lantas bagaimana seharusnya dengan kita yang belum jelas nasibnya di akhirat nanti?
Langganan:
Postingan (Atom)