Hari ini tepat dua tahun meninggalnya Mas Muslih, suami yang
sangat aku cintai. Sungguh, tak kuduga sebelumnya jika secepat itu beliau
ditakdirkan Allah meninggalkan kami untuk selama-lamanya
Malam sebelumnya, aku terbangun dari tidur ketika
pintu diketok. Sekitar jam 12.00 malam, Mas Muslih pulang dari rapat pengurus
RW. Segera aku siapkan makanan dan minuman untuk beliau. Kebetulan ba’da Isya
tadi ada teman yang mengantar aqiqah anaknya. Beliau belum makan.
“Mas, maafin aku ngantuk banget ga bisa nemenin,
barusan aja bisa tidur. Tadi Farras rewel”, kataku mencari pemakluman. Beliau
mempersilakan aku kembali istirahat. Beliau makan sendirian. Kini kalau
mengingatnya aku sering menyesal. Aku tentu tak tahu , malam itu
adalah malam terakhirku bersama suami.
Aku memang agak capek. Sabtu pagi hingga sore, aku pergi
seharian. Pagi ada acara ibu-ibu Jurtim, siangnya ngaji hingga sore. Pas
pulang, anak-anak dan Mbaknya sedang bermain di rumah tetangga. Alhamdulillah,
sore itu aku bisa menemani Mas Muslih berdua saja hingga Maghrib tiba.
Sesudahnya aku kembali mengurus anak-anak, menyuapi makan, menemani tidur
sambil mendongeng. Nabilah sebelum masuk SD, memang suka dongeng. Ia suka
dongeng ciptaan uminya sendiri. Dongeng pengantar tidur untuknya bisa dua hingga
lima cerita, sampai ia tertidur.
Mas Muslih di hari- hari terakhir menjelang kepulangannya,
amat rajin bangun malam tanpa ada yang membangunkan. Satu hal yang sebenarnya
menjadi tanda tanya dalam hatiku saat itu. Biasanya memang beliau juga bangun
malam, agak mendekati Subuh tetapi masih ada sedikit waktu untuk qiyamul lail.
Jarang bangun sendiri, seringnya dibangunkan, kadang dengan sedikit paksaan
halus. Malam itu, belum lama beliau beristirahat tiba- tiba segera bangun.
Bergegas beliau membersihkan badan. Lalu menjalankan qiyamul lail dengan lama.
Sepertinya khusyu sekali.
Paginya setelah dzikir dan tilawah, beliau bermain dengan
anak laki-laki kami yang saat itu berusia dua tahun. Suatu hal yang
menyenangkan dan menggembirakan Farras adalah bermain bola di masjid bersama
abi. Saat itu, aku dan mbaknya memasak di dapur. Tak lama, Nabilah yang suka
dan terbiasa jalan-jalan pagi naik motor, mulai mengajakku jalan-jalan. Mas
Muslih yang baru pulang menemani Farras , ikut bergabung. Sebenarnya aku sudah
mempersilakan beliau istirahat saja. Aku kasihan semalam beliau hanya tidur
sebentar sekali, tak sampai dua jam. Beliau menolak. Akhirnya kami jalan-jalan
berempat naik sepeda motor. Sepanjang jalan beliau menunjukkan rasa sayang yang
amat pada kami. Juga pada teman-temannya. Beliau menceritakan dan mengenang
kebaikan orang-orang di sekitarnya.
Hari itu ada acara di Cilegon. Aku menurut saja ketika
beliau mengatakan agar aku tak usah ikut acara kali ini. “Kasihan anak-anak
ditinggal-tinggal Mi,” ucapnya lembut. Beliau memang tahu, aku paling tidak
bisa dan akan merasa bersalah jika meninggalkan anak-anak terlalu lama.
Lagipula, hari itu aku memang agak pusing. Sore harinya aku juga sudah ada
jadwal bersama teman-teman.
Setelah shalat Dhuha, beliau pergi. Semula beliau minta
diantar saja sampai lokasi tempat berkumpul teman-temannya. Aku benar-benar
heran, tak biasanya beliau begitu. Kami ada dua motor, jadi tidak masalah jika
satu motor dibawa pergi. Setelah ngobrol dan sedikit menyatakan keherananku,
akhirnya beliau pergi membawa motor sendiri. Hal yang tak biasa juga, kunci
motor itu dititipkan temannya yang rumahnya tak jauh dari lokasi berkumpul.
Biasanya jika bepergian, kunci itu tetap dibawanya sendiri.
Shalat Dzuhurku siang itu penuh linangan air mata. Entahlah,
saat itu aku begitu melankolis dan merasakan sayang yang amat dalam pada
anak-anak dan suami. Nabilah pun yang biasanya menjadi bahan ujian
kesabaranku, hari itu begitu manis bersikap.
Setelah shalat, aku sempat beberapa saat membuka layar komputer.
Tak lama, ada telepon bergantian dari teman-teman. Mereka menginformasikan
bahwa ada sebuah mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan. Aku diminta mencari
informasi seputar mobil yang kecelakaan itu plus kabar suami. Lalu kucoba
beberapa kali menelepon nomor suami. Tak ada jawaban, nomornya tak aktif.
Perasaanku tak karuan, terasa lemas tak berdaya. Aku jadi menduga sesuatu telah
terjadi pada suamiku. Aku masih berharap bahwa semua ini tidak benar. Mereka
tak satupun ada yang mengatakan dengan pasti apa yang terjadi pada suamiku. Aku
masih berharap, bahwa kesimpulanku ini salah. Sungguh aku masih
berharap bahwa semua ini tidak benar. Hingga beberapa teman datang.
Kursi dan tenda pun dipasang. Satu demi satu teman-teman dan tetangga lain pun
berdatangan sambil memelukku.
Tak sanggup lagi diri ini berucap. Ya Allah…
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Satu peristiwa
mengejutkan yang tiada kuduga sebelumnya, telah
terjadi. Kecelakaan tunggal itu, telah mengantarkan suamiku
berpulang menghadap-Nya. Luluh lantak hati dan perasaanku kala
itu. Aku masih berharap ini hanya sebuah mimpi buruk . Tapi ini
nyata. Jiwaku terasa pedih dan air mata terus mengalir.
Aku berusaha menguatkan diri. Alhamdulillah
aku masih bisa menemui para tamu. Lalu aku juga menelepon
mertua dan saudara-saudara. Mertuaku meminta jenazah anak
kesayangannya itu dimakamkan di kampung. Aku menurut saja. Sambil menunggu
jenazah tiba, Mbak membantuku menyiapkan pakaian dan barang-barang untuk pulang
kampung.
Atas inisiatif sendiri, tetangga dan sahabat-sahabat
bergerak membantuku. Semuanya mereka yang menangani. Aku malah tak tahu apa-apa
sama sekali. Banyak sekali yang datang menyatakan bela sungkawa dan
menguatkanku. Hampir semua orang yang datang kulihat turut mencucurkan air mata.
Jenazah baru tiba menjelang Maghrib dan dishalatkan setelah
shalat Maghrib. Allah menakdirkan, almarhum suami dishalatkan oleh banyak
sekali orang. Saat itu Masjid Ar Ridho yang luas,
dipenuhi para pentakziah.
Ba’da Maghrib, jenazah diberangkatkan menuju Purbalingga.
Banyak sekali orang yang turut mengantarkan jenazah almarhum ke
kampung halaman, yang tentunya merelakan esok harinya harus membolos kerja.
Banyak juga tetangga dan teman yang meminjamkan mobil untuk
mengantar para pentakziah. Kepedulian saudara, sahabat , dan
tetangga yang luar biasa sungguh menguatkan jiwa.
Sepanjang jalan, aku tak
bisa tidur. Rasanya masih belum percaya dan masih berharap bahwa
semua ini hanya mimpi Air mata terus saja mengalir.
Aku amat mencintai suamiku. Lalu bertanya pada diri,
mampukah aku hidup di dunia ini tanpanya lagi. Suami dan ayah yang luar biasa
baik bagi kami. Sosok yang tak pernah tergantikan dalam hidupku, dalam ruang
hatiku.
Kini dan selamanya, aku selalu memohon pada-Nya agar Allah
mengaruniai kebahagian pada suamiku di alam sana. Pun kebahagiaan pada kami di
sini. Di dunia ini hingga akhirat nanti. Semoga...
*
Catatan panjang ini dibuat sebagai prasasti, spesial
ditujukan untuk anak-anak kami : Nabilah & Farras. Suatu saat nanti, insya
Allah dan semoga mereka akan mengerti dan memahami dengan sangat.