Senin, Juni 14, 2010

Adakah Aku Setegar Bunda Hajar?

Bulan Juni...Sebuah bulan yang penuh kenangan indah dan tetesan air mata bahagia. Pun, bulan Juni adalah bulan penuh linangan air mata duka. Setahun yang lalu, 14 Juni 2009, Allah memanggil kekasihku menghadap-Nya. Ikatan suci pernikahan yang menyatukan kami, membuat hari-hari indah laksana alam surgawi ternyata begitu singkat, hanya enam tahun lebih tiga belas hari.

Kenangan-kenangan indah bersamanya terpatri kuat dalam hati. Tiada pernah terlupa tetesan air matanya saat melepas masa lajang dan ketika menemaniku berjuang melahirkan anak-anak. Akan selalu kusimpan rapi dalam memoriku, jasa-jasa beliau menemani hari-hari hingga detik-detik akhir hayat Ibu, wanita yang melahirkan dan membesarkanku. Ketika itu, beliau pula yang menghibur dan menguatkanku.

Kini tiada lagi belahan jiwa yang menemani hari-hariku. Tiada lagi sahabat sejati, tempat aku mencurahkan perasaan dan berbagi suka duka. Tiada lagi sosok ayah berwibawa yang bersama-sama mengasuh dan membesarkan buah hati kami. Tiada lagi laki-laki pencari nafkah untuk keluarga. Sungguh... aku benar-benar kehilangannya, kehilangan separuh jiwaku. Kehilangan yang teramat sangat, hingga muka ini kerap bercadar air mata.

Kusadari dalam hidup ini impian tak selamanya bersesuaian dengan kenyataan. Kala perih dan pilu menyelimuti sanubari, selalu terselip nasihat untuk diri. Kuingatkan diriku bahwa seharusnya aku tersenyum bahagia karena Allah telah memilih kekasih hatiku untuk segera menemui-Nya. Kuyakin Ia Yang Mahasegalanya akan membahagiakan belahan jiwaku di alam sana. Pun, kuyakin Yang Mahakuasa tak akan membiarkanku bergulat dengan beban kehidupan ini seorang diri. Dengan caranya yang luar biasa -yang mungkin tidak bisa dinalar dengan logika manusia- akan selalu ada uluran tangan-Nya untuk kami.

Aku selalu terinspirasi oleh kisah ketegaran dan ketawakalan Bunda Hajar. Suaminya, Nabi Ibrahim meninggalkan beliau dan anak semata wayangnya Ismail di suatu padang tandus yang bahkan tidak ada rumput tumbuh. Kala itu Hajar bertanya,” Apakah Allah yang memerintahkan kepadamu untuk melakukan ini?”. Ketika kekasih Allah itu membenarkan pertanyaannya, maka Hajar berkata, ”Kalau Allah yang memerintahkan demikian, niscaya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami”. Sebuah kalimat yang menunjukkan ketegaran, kekuatan iman, dan ketawakalan jiwa yang luar biasa.

Ibrahim pun telah pergi dari sisi Hajar. Setelah perbekalannya hampir habis, Hajar berlari menuju Bukit Shafa, berharap bertemu dengan suatu kafilah yang lewat untuk dimintai pertolongan. Ketika tak ditemui seorangpun, beliau turun untuk menuju Bukit Marwah. Begitulah, beliau dengan panik, gelisah, dan khawatir mondar mandir hingga tujuh kali karena Ismail terus menerus menangis kehausan. Demikian juga dengan Hajar, beliau pun kehausan hingga tak keluar air susunya.

Allah Maha Menepati Janji, Ia memberikan rezeki pada hamba-Nya dari arah yang tidak disangka-sangka. Di tengah kekalutan, muncullah mata air yang letaknya dekat dengan Ismail. Hajar bergegas menuju mata air tersebut dengan penuh rasa syukur. Tak berapa lama kemudian muncullah suatu kafilah yang meminta izin kepada Hajar untuk mengambil air Zam-zam dan bermaksud untuk tinggal di lembah itu. Sejak saat itu, Hajar dan puteranya tak sendirian lagi.

Kita memang harus banyak belajar menjadi wanita tegar, setegar Ibunda Hajar. Kuyakin, Allah tak akan meninggalkan kita. Ia selalu mendengarkan isak tangis, keluh kesah dan rintihan kita. Ia juga akan mengabulkan segala pinta kita, yang terbaik bagi kita. Maka kini kukembali bersimpuh di hadapan-Nya, kuserahkan jiwa dan raga diiringi lantunan doa.

Rabbi...
Datang...
Datanglah Engkau...
Rengkuhlah aku...
Dalam belaian cinta-Mu
Dalam pelukan kasih-Mu

Rabbi...
Datang…
Datanglah Engkau…
Dengan tangan -Mu
Dengan keagungan-Mu
Mengangkat beban di pundakku

Rabbi…
Mahakasih-Mu
Mahakuasa-Mu
Menyuburkan samudera asa di jiwaku

***
Baiti Jannatii, 13 Juni 2010
Ditulis sebagai curahan hati dan nasihat untuk diri. Dipublikasikan di Eramuslim, 15 Juni 2010
http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/setegar-bunda-hajar.htm

Takut Mati

Sepekan yang lalu saya dan beberapa teman melakukan ta’ziah ke daerah Condet, Jakarta Timur. Seorang kakak angkatan saya –waktu kuliah- telah dipanggil oleh Sang Khaliq dalam usia yang masih cukup muda, tiga puluh enam tahun.

Sebelumnya, selama kurang lebih sebulan beliau tak sadarkan diri –koma- dan dirawat di ICU RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hal demikian beliau alami setelah melahirkan anak keenam. Memang kondisi beliau pada kehamilan kali ini berbeda dengan kehamilan-kehamilan sebelumnya, letih begitu cepat terasa, penat di punggung tak juga segera menghilang. Demi menyelamatkan ibu dan anak, beliau melahirkan melalui operasi cesar. Anaknya sehat dan sudah bisa pulang, sementara beliau tetap masih harus dirawat di rumah sakit untuk memulihkan kesehatannya. Jantung dan ginjalnya lemah, HB pun rendah. Akhirnya beliau dipindahkan ke ICU RSCM yang memiliki peralatan yang lebih canggih. Tetapi Allah SWT ingin segera berjumpa dengan hamba-Nya yang shalihah ini. Beliau pun akhirnya dipanggil oleh Pemiliknya pada Rabu, 2 Agustus 2006 pukul 17.50 WIB. Semoga Allah memasukkan beliau ke dalam golongan para syuhada yang diberkahi, aamiin.

Kepergian beliau menimbulkan isak tangis sekian banyak orang. Tak hanya keluarga beliau –suami, anak-anak, orangtua, mertua, saudara- tapi juga orang-orang yang hadir berta’ziah ke rumahnya. Saya berada di antara sekian banyak dari mereka. Saat Ustadz Abdul Aziz Abdurrauf Al Hafidz memberikan taujih, tak terasa air mata ini pun berlinang membasahi pipi. Tak hanya perasaan sedih dan kehilangan yang memenuhi ruang hati saya ketika itu. Pikiran dan perasaan saya pun dipenuhi oleh kata-kata “takut mati”. Ya… takut mati. Saya memang belum siap jika saat itu atau saat-saat sekarang ini Allah berkehendak memanggil saya.

Saya masih merasa takut meninggalkan alam fana ini, bukan lantaran saya masih ingin menikmati gemerlapnya kehidupan dunia. Bukan…! Saya bukanlah orang kaya yang hidupnya dipenuhi kenikmatan dan kemewahan duniawi. Saya hanya orang biasa saja dengan kehidupan yang amat bersahaja. Tapi untuk meninggalkan dunia ini serasa bekal saya belumlah mencukupi, jauh…jauh dari mencukupi. Saya masih jauh dari kriteria seorang hamba yang ridho dan ikhlas, yang selalu mengutamakan Allah di atas segalanya. Keridhaan, kecintaan dan penilaian-Nya kadang tak saya tempatkan lebih tinggi di atas segalanya, di atas penilaian makhluk-makhluk-Nya yang sesungguhnya lemah dan tak punya daya upaya. Amalan-amalan saya pun masih sangat sedikit, malah mungkin sebagian sudah ternodai dengan ketidakikhlasan. Saya pun tak tahu dari amalan yang sedikit ini, seberapa banyak yang akan diterima oleh Sang Penguasa Alam Semesta. Saya pun masih jauh dari kriteria seorang hamba yang pandai bersyukur. Saya masih suka mengeluh atas hal-hal tak nyaman yang saya alami. Saya juga masih jauh dari kriteria seorang hamba yang berakhlak mulia. Kadang saya masih suka bergunjing, membicarakan aib orang lain -ibarat memakan daging saudara sendiri yang sudah mati. Astaghfirullahal adziim…

Padahal Allah Yang Maha Kuasa bisa berkehendak apa saja. Dia bisa memanggil saya kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja, tanpa menanyakan sejauh mana kesiapan saya. Lihatlah… betapa bencana alam -banjir, gempa bumi, dan tsunami- telah merenggut ribuan nyawa manusia tanpa terduga-duga! Lihatlah… berbagai penyakit mematikan -flu burung, jantung- kerap datang secara mengagetkan dan merenggut nyawa-nyawa anak cucu Adam ! Lihatlah… betapa banyak orang dipanggil Rabbnya secara tak disangka-sangka ketika mereka tengah berada dalam sebuah perjalanan -di pesawat, bis, mobil atau sepeda motor! Lihatlah… Allah pun kadang memanggil hamba-Nya di saat hatinya berbunga-bunga ketika melahirkan sang buah hati tercinta! Tidakkah semua itu bisa menjadi pelajaran bagi saya?

Kematian memang tak bisa ditunda. Lalu bagaimana nasib saya nanti? Di alam kubur nanti? Di hari perhitungan nanti? Di akhirat nanti? Membayangkannya benar-benar membuat saya merinding ketakutan. Saya tak siap dengan bayangan siksa kubur yang mengerikan. Saya tak siap jika menerima -catatan amal- di tangan kiri. Saya pun tak siap dengan bayangan neraka yang menyala-nyala membakar manusia. Tak ada makanan dan minuman yang mengenakkan. Tak ada makanan dan minuman sekedar untuk menghilangkan haus dan lapar. Makanan dan minuman yang tersedia –pohon zaqqum, darah, nanah, dan air yang sangat panas- hanya akan semakin menambah penderitaan. Di sana, syetan-syetan akan menertawakan manusia-manusia bodoh yang dengan mudah ia perdaya dengan bujuk rayu dan kebohongannya. Akankan saya terhindar dari semua ini? Di antara perasaan takut dan harap akan belas kasih Allah SWT, doa-doa pun terlantun di bibir saya.

Ya Allah Yang Maha Pengampun, perkenankanlah kami yang dhaif dan penuh dosa ini datang kepada-Mu tuk memohon ampunan-Mu atas segala khilaf dan dosa.
Ya Allah Yang Maha Penolong, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.
Ya Allah Yang Mahakuasa, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa ridha pada-Mu dan Engkau pun ridha pada kami.
Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, wafatkanlah kami dalam keadaan khusnul khatimah, lindungilah kami dari adzab kubur dan masukkanlah kami ke dalam jannah-Mu.
Aamiin Yaa Robbal ‘aalamiin.

***
Jurangmangu, 10 Agustus 2006
http://www.eramuslim.com/oase-iman/takut-mati.htm

Jumat, Mei 07, 2010

Doa dan Cinta


Di hari ketujuh bulan kelima
Engkau lahir dari rahim bunda
Tuk menjelajah jagat persada

Suara tangis pertamamu
Melukis senyuman di bibir
Meluruhkan letih dan perihnya raga
Mengukir warna bahagia di hati
Melambungkan syukur nan melangit tiada henti

Dalam relung kalbu ayah bunda
Terasa indah nian dunia
Memandang wajah mungilmu
Memandang laku polahmu nan lucu
Memandang detik demi detik tumbuhmu

Dalam relung kalbu ayah bunda
Kasih padamu laksana samudera
Merawat dan membelaimu dengan cinta

Oh Ananda...
Hari-hari bagai berlari
Bulanpun berganti
Kini enam tahun kakimu menapaki mayapada

Dalam relung kalbu ayah bunda
Berjuta mimpi tercipta
Berjuta asa dimohonkan pada Sang Pencipta
Moga engkau selalu dalam dekapan kasih-Nya
Moga engkau selalu dalam naungan cinta-Nya
Moga engkau selalu dalam ridha-Nya

Oh Ananda...
Malam ini kukatakan pada langit dan bintang-bintang
Engkau adalah penyejuk mata
Engkau adalah bara dalam jiwa

Jurangmangu, 7 Mei 2010
(Sepenuh cinta dan asa untuk anakku : Nabilah Nur Azizah)

Minggu, April 04, 2010

Kelak Ada Perhitungan

Beraneka kasus korupsi silih berganti mewarnai pemberitaan utama media massa negeri ini. Pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang dihormati, orang-orang yang padanya rakyat menitip kepercayaan dan amanah, orang-orang yang seharusnya mengayomi dan melayani. Miris, pilu, dan nyeri hati mendengarnya.

Keserakahan dan ketamakan sebagian orang membuat kehidupan di negeri ini kian berjurang, berjarak laksana langit dan bumi. Sungguh pilu hati menyaksikan betapa anak-anak negeri -yang gemah ripah loh jinawi- ini banyak yang hidup dalam kemelaratan. Di sisi lain, sebagian orang bisa hidup bermewah-mewahan dengan menzhalimi dan mengambil hak-hak orang lain. Na’udzubillah…

***

Adalah Umar bin Abdul Aziz, seorang bangsawan yang kaya raya dengan harta yang berlimpah ruah. Beliau memiliki tanah perkebunan di Hijaz, Syam, Mesir, dan Bahrain. Dari sana beliau memperoleh penghasilan yang sangat besar, sebanyak tidak kurang dari 40.000 dinar setiap tahun. Setelah menjadi khalifah, beliau mengeluarkan seluruh hartanya –termasuk perhiasan istrinya- dan mengembalikannya ke dalam harta kaum muslimin.

Pada masa pemerintahan beliau , rakyat hidup makmur sampai-sampai tidak ditemukan penerima zakat. Selama memerintah, Umar bertindak sangat luar biasa. Beliau memperkecil gajinya sendiri dan memperbesar gaji para pegawainya. Umar senantiasa berusaha agar dirinya bersih lahir batin. Umar adalah sosok yang sederhana, zuhud dan wara. Suatu hari, Umar mengumpulkan sekolompok ahli fikih dan ulama untuk menanyakan pendapat mereka mengenai hasil tindak curang yang pernah dilakukan keluarga beliau. Para ahli fikih dan ulama mengatakan bahwa karena semua terjadi sebelum masa pemerintahan Umar, maka dosanya berada pada yang merampasnya. Umar tidak puas dengan pendapat itu dan mengambil pendapat kelompok lain -termasuk pendapat putranya :Abdul Malik- yang mengatakan kepadanya, “Saya berpendapat, hasil-hasil itu harus dikembalikan kepada yang berhak, selama engkau mengetahuinya. Jika tidak dikembalikan engkau telah menjadi patner mereka yang merampasnya dengan curang.” Mendengar itu Umar puas dan langsung berdiri untuk mengembalikan hasil-hasil tindak kecurangan itu.


Umar juga seorang pemimpin yang rendah hati, bijaksana dan adil. Suatu hari, ketika beliau tengah melakukan perjalanan dinas ke Mesir, seorang penduduk dari Hulwan menemui Umar. Ia menuntut agar hartanya berupa tanah yang diambil oleh ayah Umar -ketika menjadi gubernur di Mesir- untuk pembangunan daerah itu, diganti harganya. Umar membawa masalah ini ke pengadilan dan beliau tunduk pada putusan hakim untuk memberikan ganti rugi sebesar satu juta dirham. Umar berkata, “Semoga Allah memberkahi engkau wahai Tuan hakim...” Dan kemudian si penggugat pun berkata,” "Semoga Allah memberi berkah kepada engkau wahai Khalifah, dan juga kepada seluruh rakyat engkau. Semoga ke negeri Mesir ini berpindah pula keadilan sebagaimana keadilan yang engkau miliki, dan keimanan agung yang engkau punyai."

Apabila Umar ditanya, “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa".
"Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"
"Jika anak-anakku orang saleh, Allahlah yang menguruskan orang-orang saleh. Jika mereka orang-orang yang tidak saleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah."

Suatu hari, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata,"Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata: aku telah memilih kamu susah)

Pada usia 40 tahun di rumahnya yang sederhana, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dipanggil Sang Khalik. Beliau hanya meninggalkan harta 17 dinar. Uang itu dibagi-bagi untuk kepentingan penyelenggaraan pemakamannya: 5 dinar untuk kain kafan, 2 dinar untuk tanah pekuburannya, dan sisanya 10 dinar untuk dibagikan kepada anaknya yang berjumlah 11 orang. Alhamdulillah, berkat doa dan tawakal sang ayah, keturunan Umar bin Abdul-Aziz di kelak kemudian menjadi orang yang kaya raya.


Sebelum meninggal, Sang Khalifah membaca firman Allah,” Negeri akhirat itu Kami (Allah) peruntukkan bagi orang-orang yang tidak menginginkan kemegahan di muka bumi ini dan tidak pula membuat kebinasaan. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Qashas: 83)

***

Sosok Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang dirindukan. Sifat wara’nya menjadi keteladanan. Dosa terhadap manusia lebih sulit diampuni Allah karena si pelaku harus terlebih dulu mendapat maaf dari manusia yg pernah dizhaliminya. Pelaku kejahatan publik –seperti korupsi- kelak di akhirat akan mengalami kebangkrutan akibat merampas hak- hak orang banyak. Bayangkan...betapa persidangan akhirat akan memakan waktu yang teramat panjang karena 200 juta rakyat menuntutnya satu persatu !

Seorang penguasa adalah cermin bagi rakyatnya. Jika di suatu negeri rakyatnya saleh dan senantiasa taat kepada Allah, maka Allah akan memilihkan untuk mereka pemimpin yang baik dan adil, pun sebaliknya. Mungkin, rakyat di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah rakyat yang saleh dan bertakwa kepada Allah sehingga Allah memilihkan untuk mereka seorang pemimpin saleh yang taat pada-Nya. Maka menjadi pribadi saleh dan bertakwa adalah suatu keharusan serta jalan agar kita memiliki pemimpin, pejabat, dan pengemban amanah rakyat yang taat kepada-Nya dan melaksanakan amanah sebaik-baiknya. Semua akan ada pertanggungjawaban. Kelak di hari perhitungan...
Wallahu’alam bishshawab

http://www.eramuslim.com/oase-iman/rodhiyatunnisa-kelak-ada-perhitungan.htm
***

Minggu, November 15, 2009

Setelah 16 Tahun Pernikahan

Apa yang paling diinginkan pasangan suami isteri setelah menikah? Hampir semua pasangan mungkin mengatakan,”anak”. Kebahagiaan terasa belum lengkap, ketika belum hadirnya si mungil yang lucu nan menggemaskan.

Pagi itu, dari ujung telepon, suara sahabat karibku terdengar. “Aku kan menikah sudah 16 tahun ya ...? tanyanya riang. Ia melanjutkan ceritanya bahwa sekarang sudah beberapa minggu telat dan kata dokter ia hamil. ”Subhanallah walhamdulillah,” aku memuji Allah dengan perasaan haru dan tetesan air mata. Seluruh ruang hatiku dipenuhi rasa bahagia. Sangat bahagia. Sungguh...aku benar-benar merasakan keagungan dan kemahakuasaan-Nya. Pun nikmat, cinta, dan kasih sayang-Nya yang mengalir tiada henti pada seluruh makhluk-Nya.

Teringat olehku, dua tahun lalu di sebuah acara walimahan khitan anak seorang teman. Hari itu, kami bertemu kembali untuk pertama kalinya sejak mereka kembali ke Jakarta. Meski sama sekali tak kutanyakan perihal anak kepadanya, ia bercerita sendiri perasaan hatinya tanpa ekspresi kesedihan. “Dulu kalau ada yang bertanya tentang anak, air mata ini akan menetes membasahi pipi, sekarang mungkin sudah kebal,’’ lirihnya. Meski belum dikaruniai anak, sepengetahuanku, ia dan suaminya memang orang yang amat sabar. Luar biasa sabar. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini senantiasa disikapinya dengan positive thinking.

***

Kehadiran anak memang menjadi dambaan setiap pasangan. Selain sebagai penerus keturunan, anak juga merupakan perhiasan dunia yang memberi keceriaan dalam keluarga. Setiap detik pertumbuhannya memberi warna bahagia bagi ayah, ibu, dan orang-orang di sekitarnya. Rumah pun tak lagi sunyi karena ada tawa, canda dan tangis sang buah hati tercinta.

Allah memberi sebagian orang kemudahan mendapatkan keturunan. Sebagian yang lain harus menunggu berbulan-bulan, bertahun-tahun bahkan sampai akhir hayat belum dianugerahi keturunan. Kekasih Allah Nabi Ibrahim dikarunia anak pertama pada usia 86 tahun. Nabi Zakaria dikaruniai Yahya -seorang anak yang shalih dan cerdas- saat beliau dan istrinya sudah tua renta dan keriput. Semua itu adalah skenario Allah untuk menguji kesabaran hamba-hamba-Nya. Rasulullah bersabda,” Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia mengujinya. Jika ia bersabar, maka Allah memilihnya, dan jika ia rela, maka Allah mengutamakannya di sisi-Nya.”

Segala sesuatu mudah bagi Allah Yang Mahakuasa dan Maha Menghendaki. Jika saat ini kita belum dikaruniai anak oleh Allah, maka tak perlu berputus asa. Kita harus terus menerus memohon dan berikhtiar. Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Semua itu akan indah pada waktunya.

Semua yang ada ada pada diri manusia - anak, suami, isteri, harta, atau apapun jua- sejatinya bukanlah milik kita dan hanyalah titipan dari-Nya. Maka, tak perlu berbangga hati kala semua itu ada bersama kita. Pun, tak perlu duka lara singgah berlama-lama ketika semua itu belum diamanahkan atau hilang dari kita. Yang Maha Pengasih mengingatkan hamba-hamba-Nya, “…boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216).

***
Sahabat… aku banyak belajar dan masih harus terus menerus banyak belajar darimu. Dari kesabaran, ketegaran, ketulusan hati, kerendahhatian dan banyak lagi yang lainnya. Terimakasih sahabatku...

Kamis, Oktober 01, 2009

Mereka Membuatku Menangis

Langit di atas kaki Gunung Slamet tampak cerah. Maghrib baru saja usai. Air mata mertua dan adik ipar menetes, melepas kepulanganku ke Jakarta. Bersama dua buah hati, aku segera memasuki mobil travel yang belum berpenumpang. Kami jemputan pertama.

“Cuma sama anak-anak Mbak? suara bariton sopir travel itu memecah keheningan. Tak seperti hari-hari biasanya, meski malam baru saja menampakkan diri, kedua anakku saat itu telah tertidur. Seharian, mereka asyik bermain-main hingga melupakan jam istirahat.

“Ya Pak…,”jawabku datar, menahan perih rasa di hati.

“Suami nggak ikut mudik?” tanya laki-laki setengah baya itu sejenak kemudian. Aku menjawabnya dan menceritakan bahwa suamiku telah dipanggil kembali oleh Pemiliknya yang sejati, tiga bulan lalu. Air bertambah deras mengalir dari kedua sudut mataku, menganaksungai di pipi. Pekan-pekan terakhir ini aku memang lebih melankolis dibanding hari-hari biasa. Satu hal yang paling sering membuatku menangis adalah ketika mengingat orang-orang yang paling kucintai dalam hidup ini, yang kini telah pergi meninggalkan kami selama-lamanya. Mereka adalah ibu dan suami.

Ibu seorang wanita yang hidupnya penuh perjuangan. Ayah meninggal ketika Ibu masih sangat muda dan anak-anak masih sangat kecil. Selama tiga puluh dua tahun, Ibu seorang diri membesarkan anak-anak hingga Allah memanggil beliau dua tahun lalu.

Pun suami. Laki-laki itu di mataku adalah seorang yang sangat baik. Kehadiran beliau dalam hidupku adalah bentuk istijabah Allah atas doa-doaku. Sejak lama sebelum menikah, aku mendambakan seorang pendamping hidup yang dekat dengan Sang Khaliq dan bisa membimbingku untuk menggapai kebahagiaan dunia akhirat. Benar, Allah memilihkanku seorang laki- laki saleh yang istiqamah mengerjakan sebuah amalan. Dalam sakit-sakit ringan atau perjalanan jauh ratusan kilometer, beliau bisa tetap menjalani shaum sunnahnya. Demi mengharap cinta Sang Maha Pengasih dan Penyayang, selama lebih dua puluh lima tahun, alhamdulillah hanya dua kali beliau terlewat menjalani shaum Senin Kamis.

Suamiku adalah orang yang melindungi dan menyayangi keluarga. Beliau ringan tangan dan cekatan dalam membantu pekerjaan-pekerjaan rumah termasuk mengurus anak-anak. Dibandingkan denganku, beliau juga lebih pintar mendidik anak-anak dan lebih berwibawa tetapi tetap dekat dengan buah hatinya. Saat lebaran, ketika biasanya mbak-mbak yang membantu pekerjaan di rumah pulang kampung, kami mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah dan mengurus anak-anak bersama-sama. Kini semua itu tinggallah kenangan.

Ketika mengingat kebaikan-kebaikan mereka, sesunggukanku kian bertambah. Aku merasa, begitu banyak mereka memberi, sementara hanya sedikit sekali yang telah aku berikan. Belum maksimal rasanya aku membahagiakan mereka di dunia ini. Mereka membuatku menangis. Sebuah tangisan penuh harapan dan keyakinan bahwa Yang Maha Memiliki akan menganugerahi orang-orang yang kucintai ini, tempat-tempat indah penuh kebahagiaan di alam sana.

Hidup tak selamanya manis. Tegar, karena suatu keyakinan bahwa Sang Mahakuasa telah menyediakan hal –hal manis, indah, dan penuh pesona di negeri yang abadi. Cepat atau lambat kita pun akan menyusul menghadap-Nya. Waktu setahun, dua tahun, dua puluh, bahkan tiga puluh tahun atau lebih, bukanlah sesuatu yang lama. Saat ini, di tempat persinggahan yang fana ini, saatnya kita mempersembahkan keagungan cinta, keridhaan, dan pengabdian terbaik kita pada Illahi. Allah menguatkan jiwa kita, ”Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka...” (QS At- Taubah : 111).

***
http://www.eramuslim.com/oase-iman/mereka-membuatku-menangis.htm

Minggu, Juni 28, 2009

Kini Suamiku Telah Kembali

Berbekallah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
Relakah dirimu... menyertai segolongan orang?
Mereka membawa bekal sedangkan tanganmu hampa

Rasulullah bersabda...
Perbanyaklah mengingat
Akan pemusnah segala kenikmatan dunia
Itulah kematian ...yang kan pasti datang
Kita tak tahu kapan waktunya kan menjelang...

Bait-bait syair Suara Persaudaraan itu memang sering kunasyidkan di hari-hari terakhir menjelang kepergian suami. Aku meresapi betul lirik demi lirik nasyid itu, hingga kadang titik-titik air mata turut membasahi pipi.

Kematian memang telah pasti datang. Malaikat Izrail bisa menjemput kita kapan dan di mana saja. Meski begitu, sungguh … tak terbayang sebelumnya di benakku, suamiku akan pergi meninggalkan kami secepat itu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.

***

Hari itu sang raja siang masih menampakkan keperkasaannya. Sinarnya memancar menerangi mayapada. Siang terik. Deringan suara handphone membuatku segera beranjak dari tempat duduk. Telepon dari teman dekat. Setelah memberi salam, menanyakan kabar, dan keberadaanku, beliau menanyakan sesuatu.

“Bu, sudah tahu kabar kalau ada salah satu mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan?’’ tanyanya pelan.

Innalillahi…,” aku mengucap kalimah tarji’, lalu memberondongnya dengan beberapa pertanyaan. Kemudian beliau menyarankanku untuk mencoba mencari-cari informasi. Aku langsung menghubungi nomor suami tetapi tidak aktif. Dalam cemas, aku mencoba husnudzan -mungkin batterainya drop. Aku masih berusaha menghubungi nomor teman-teman ketika seorang teman dekat yang lain menelepon ke rumah. Dengan pelan dan lembut, beliau menanyakan kabar suami. Deg…tiba-tiba aku lemas, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada ayah anak-anakku, belahan jiwaku. Apalagi ketika kuhubungi nomor seseorang, beliau mengatakan ia dan suaminya akan segera ke rumah, isak tangis ini tak tertahan, perasaan hati pun tak karu-karuan. Langit yang cerah tampak hitam, gelap, pekat.

“Bu... sabar, ikhlaskan kepergiannya ya...! Suami Ibu kan orang baik, insya Allah khusnul khatimah,” hibur teman-teman sambil memelukku dengan berlinang air mata.

***

Ahad, 14 Juni 2009 pukul 12.45 WIB. Hari itu suami yang sangat kucintai, telah dipanggil pemiliknya. Beliau mendapat amanah mengarungi perjalanan hidup di alam fana ini hanya selama tiga puluh sembilan tahun lebih tiga puluh tiga hari. Selama itu pula, beliau hampir tak pernah sakit -kecuali sakit ringan, seperti flu- dan belum pernah sekalipun masuk rumah sakit. Kepergiannya yang begitu cepat, tanpa sakit, tanpa pamit begitu mengagetkan. Kala itu, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, dan kehilangan semuanya.

Suamiku adalah kekasihku, belahan jiwaku. Cintaku pada beliau teramat dalam, jauh lebih dalam dari yang kutahu selama ini. Banyak kenangan indah kami lalui bersama dengan penuh cinta.

Suamiku adalah teman sejatiku. Aku bersyukur pada Allah karena telah mengaruniaiku seorang teman hidup yang begitu baik. Meski dalam kebersahajaan dan kesederhanaan, aku sangat berbahagia hidup bersamanya.

Suamiku adalah guruku. Pada beliau, aku banyak belajar lebih dalam lagi tentang hidup dan kehidupan, tentang keikhlasan, tentang pengorbanan dan tentang pengabdian seorang hamba pada Rabbnya. Beliau tak lupa selalu memotivasiku untuk memperbaiki kualitas diri sebagai seorang hamba di hadapan Sang Pencipta.

Kini suamiku telah kembali, kembali pada pemiliknya yang sejati. Telah kuikhlaskan kepergiannya. Doa senantiasa menyertai perjalanan suamiku tercinta, semoga Allah mengampuni, memaafkan dosa-dosa, menerima amal ibadah, melapangkan kuburnya dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Kumohon jua kiranya Allah senantiasa mengaruniai kami - keluarga yang ditinggalkan- kesabaran , ketabahan, dan kemudahan dalam segala urusan, aamiin.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah engkau pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surga-Ku“ (QS Al Fajr: 27-30)

Tulisan ini untuk mengenang kepergian Alm. Mas Muslih. Beliau dimakamkan di kampung kelahirannya : Limbangan, Kutasari, Purbalingga. Tulisan ini juga dipublikasikan di Eramuslim, 29 Juni 2009
http://www.eramuslim.com/oase-iman/kini-suamiku-telah-kembali.htm