KETIKA membaca sebuah berita di situs Eramuslim tentang adzan di Irak yang diakhiri dengan seruan “shalatlah di rumah kalian” hati ini menangis pilu. Terbayang betapa sulitnya saudara-saudara kita di negeri seribu satu malam itu, untuk sekedar memenuhi panggilan shalat di masjid. Untuk memenuhi panggilan Allah itu mereka harus mempertaruhkan keselamatan jiwa. Terlebih lagi di malam hari, waktu antara shalat Isya hingga Subuh adalah rentang waktu rawan yang mengancam banyak kaum Muslimin di sana. Banyak penyerangan dilakukan. Para imam, khatib, dan jamaah masjid menjadi target penculikan dan pembunuhan.
Para ulama di negeri itu sepakat menambahkan kalimat “shalluu fii rihaalikum” di akhir adzan, yang berarti ajakan untuk shalat di rumah. Dengan berdasarkan dalil syariah dalam sunnah nabi, para fuqaha juga sepakat menetapkan menjamak shalat Maghrib dan Isya menjadi satu waktu di waktu Maghrib. Hal ini ditempuh untuk mencegah agar tidak terjadi pertumpahan darah kaum Muslimin.
Bagaimanakah kita di sini? Tak jauh beda. Jamaah shalat Isya dan Subuh juga tak banyak jumlahnya. Bukan lantaran intimidasi, justru lantaran buaian kenikmatan duniawi. Seperti di Jakarta -kota yang tak pernah tidur- saat tiba waktu Isya banyak orang masih di perjalanan atau masih sibuk dengan aktifitas keduniaan lainnya. Boleh jadi sebagian dari mereka ada yang tetap mengerjakan shalat Isya di masjid-masjid di sekitar tempat mereka beraktifitas atau di jalan-jalan yang mereka lewati.
Dibandingkan dengan shalat Isya, kondisi saat shalat Subuh malah lebih parah lagi. Ketika adzan Subuh berkumandang kerap kali tak dihiraukan, acara bertamasya di pulau kapuk yang indah tetap dilanjutkan. Padahal shalat Subuh berjamaah di masjid adalah shalat yang pahalanya sangat besar. Mestinya dengan dijanjikan pahala shalat Subuh yang besar, masjid-masjid menjadi ramai dipenuhi jamaah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, jamaah shalat Subuh di masjid hanya satu atau dua baris saja. Konon, itu terjadi di mana-mana, di hampir semua tempat.
Kalau seandainya reward untuk kehadiran shalat Subuh itu diberikan di dunia, orang akan berbondong-bondong memenuhi masjid. Bayangkan! Jika setiap kehadiran kita pada shalat Subuh mendapatkan uang tunai Rp500.000,00 maka jamaah akan membludak bahkan sampai halaman dan jalan-jalan di sekitar masjid.
Agar tak melihat segala sesuatunya dari kacamata duniawi, maka kita perlu meningkatkan keimanan dan kecintaan kepada Allah dan negeri akhirat. Rasulullah menjelaskan,”…sesungguhnya apabila mereka mengetahui apa yang ada di dalam shalat Subuh dan Isya, maka mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR Ahmad dan An-Nasa’i).
Merangkak? Mungkin bagi kita yang sehat dan memiliki kesempurnaan fisik tak perlu melakukan hal itu. Tapi bagi mereka yang lumpuh dan tidak ada orang ataupun sarana yang bisa membantunya bergerak, maka bisa jadi ketika mereka akan mendatangi suatu tempat harus merangkak.
Membayangkan kondisi saudara-saudara seiman kita di Irak, semestinya kaum Muslimin Indonesia meningkatkan rasa syukur kepada Allah yang diwujudkan dengan menggunakan nikmat-Nya untuk ketaatan. Saat ini, kapanpun kita bisa ke masjid tanpa ada hambatan yang berarti. Hambatan yang ada justru dari dalam diri kita sendiri. Maka sudah saatnya kita menunjukkan sifat mujaahidun lin nafsi. Kita harus berpartisipasi membuat masjid-masjid kita ramai dipenuhi jamaah, termasuk ketika shalat Subuh.
Sebagai kaum wanita, kita harus bisa memotivasi para suami untuk bangun pagi dan shalat Subuh di masjid. Meski tak mengerjakan shalat berjamaah di masjid, kita pun perlu mengerjakan shalat di rumah tepat waktu. Semua itu merupakan bagian dari dakwah, karena sarana dakwah yang paling efektif adalah dengan memberi qudwah (keteladanan). Dakwah tanpa qudwah selain dibenci Allah juga akan menimbulkan perasaan kurang tsiqah dalam diri objek dakwah.
Sebuah kenikmatan seringkali baru terasa ketika ia hilang dari kita. Selama ini mungkin tak terpikirkan oleh kita bahwa kedatangan kita untuk beribadah di rumah Allah dengan aman tanpa gangguan merupakan sebuah kenikmatan yang luar biasa. Mengapa sedikit sekali kita mensyukurinya? Tidak cukupkah kita mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita di belahan bumi sana? Wallahu'alam bishawab.
Catatan : Tulisan ini pernah dimuat di Kolom Muslimah Majalah Saksi Agustus 2006